AGAMA DAN
KEKERASAN SOSIAL
Makalah ini disusun
untuk tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam
Program Studi Pendidikan
Agama Islam, Semester I Madin
Sekolah Tinggi
Agama Islam NU Pacitan
Dosen
Pengampu
M.
Hanifudin, S.Pd, M.SI
Disusun
Oleh :
Budi Santoso 20130101673
SEKOLAH TINGGI
ILMU AGAMA ISLAM NU PACITAN
PRODI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Jl. Letjend S.
Parman No. 44b Pacitan
Phone: 0357
885635 E-mail : stitnupa_106@yahoo.co.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sifat
kebhinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia ternyata juga menyimpan potensi
maupun factor disharmoni. Pandangan umum yang telah lama dipopulerkan adalah
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah-tamah, serta akomodatif
terhadap berbagai nilai budaya asing dan berintegrasi di tengah-tengah
masyarakat. Jika dikaji lebih mendalam, tentu dapat dikatakan bahwa potensi
konflik dan budaya kekerasan yang muncul terlihat relative sama kuatnya dengan
budaya keramah-tamahan bangsa ini. Di sisi lain, fenomena tersebut tentunya
bisa juga dikatakan berbanding terbalik dengan sikap religius yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia. Asumsi yang berlaku mestinya, sikap religius dapat
mencegah timbulnya konflik yang semestinya tidak perlu. Atau jika konflik
berkembang pada skala kecil tentunya religiusitas ini bisa menjadi penyejuk dan
unsur pendamai pertikaian antar kelompok tersebut. Namun yang terjadi di
lapangan tidaklah demikian. Banyak konflik yang terjadi justru dibangun dengan
mengatasnamakan agama.
B. Rumusan
Masalah
1. Agama apa fungsi dan pengertiannya
2. Bagaimana dasar dan landasan Pluralisme
3. Konflik social apa saja pemicunya
4. Bagaimana agama menjadi dan solusi
dalam menangani konflik sosial
BAB II
PEMBAHASAN
A. Agama
Fungsi dan Pengertiannya
1. Fungsi agama
Pada dasarnya agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, kerena bagaimanapun juga manusia membutuhkan kontrol diri dan pengawasan agama. Hadirnya agama sangat berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris dengan adanya keterbatasan kemampuan dan ketidak pastian dari manusia. Sesuai fungsinya, mengambil penjelasan Hendro Puspito, bahwa fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan, dan transformative. Oleh karena itu, jika fungsi agama berjalan dengan baik, masyarakat dapat merasa aman, stabil, sejahtera dan sebagainya.
Namun, karena agama yang dianut oleh manusia didunia ini tidak hanya satu, maka tentu saja klaim kebenaran masing-masing agama yang dianut oleh setiap orang akan muncul ke permukaan. Jika klaim itu dihadapkan pada penganut agama lain, maka sudah dapat diduga akan terjadi benturan anatar penganut agama, yang masing-masing memiliki klaim kebenaran.
Maka , makalah yang ada saat ini mencoba untuk mengungkap bagaimana seseorang mengeksperesikan keberagamaannya di hadapan penganut agama lain dengan tanpa ada benturan, atau paling tidak dapat meminimalisir terjadinya konflik antar umat beragama.
Pada dasarnya agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, kerena bagaimanapun juga manusia membutuhkan kontrol diri dan pengawasan agama. Hadirnya agama sangat berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris dengan adanya keterbatasan kemampuan dan ketidak pastian dari manusia. Sesuai fungsinya, mengambil penjelasan Hendro Puspito, bahwa fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan, dan transformative. Oleh karena itu, jika fungsi agama berjalan dengan baik, masyarakat dapat merasa aman, stabil, sejahtera dan sebagainya.
Namun, karena agama yang dianut oleh manusia didunia ini tidak hanya satu, maka tentu saja klaim kebenaran masing-masing agama yang dianut oleh setiap orang akan muncul ke permukaan. Jika klaim itu dihadapkan pada penganut agama lain, maka sudah dapat diduga akan terjadi benturan anatar penganut agama, yang masing-masing memiliki klaim kebenaran.
Maka , makalah yang ada saat ini mencoba untuk mengungkap bagaimana seseorang mengeksperesikan keberagamaannya di hadapan penganut agama lain dengan tanpa ada benturan, atau paling tidak dapat meminimalisir terjadinya konflik antar umat beragama.
2. Pengertian Agama
Menurut Hendrapuspito, agama adalah suatu jenis sistem social yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagai mereka dan masyarakat luas umumnya.
Definisi lain disebutkan dalam kamus sosiologi, bahwa agama dapat diartikan keadaan tiga macan definisi, di antaranya:
Menurut Hendrapuspito, agama adalah suatu jenis sistem social yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagai mereka dan masyarakat luas umumnya.
Definisi lain disebutkan dalam kamus sosiologi, bahwa agama dapat diartikan keadaan tiga macan definisi, di antaranya:
a. Kepercayaan pada hal-hal yang
spiritual.
b. Perangkat kepercayaan dan
praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri.
c. Idiologi mengenahi hal-hal yang
bersifat supranatural.
Sementara itu, Thomas F. O`die
mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana supra-empiris untuk
maksud-maksud non-empiris atau supra-empiris. Dari definisi diatas, dapat
tergambar jelas bahwa agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran
penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada diluar jangkauan dan
kemampuannya karena sifatnya yang supra-natural sehingga diharapkan dapat
mengatasi-masalah yang non-empiris.
B. Agama dan Keragaman
Sosial
Dalam
konteks hidup bermasyarakat, keragaman sosial atau yang sering disebut dengan pluralisme,
seringkali menjadi persoalan sosial yang dapat mengganggu integritas
masyarakat. Beberapa pandangan menunjukkan, pluralisme atau keberagaman dipahami
sebagai salah-satu faktor yang menimbulkan konflik-konflik sosial, baik
bertolak demi satu kepentingan (vested-interst) keagamaan yang sempit,
maupun bertolak dari supremasi budaya kelompok masyarakat tertentu. Pandangan
demikian ada benarnya, karena di banyak negara terjadi kasus kekerasan masa
yang dilatarbelakangi oleh persoalan-persoalan pluralisme ini. Al-Qur’an
sendiri menyatakan secara eksplisit, bahwa sengaja manusia diciptakan
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar merka saling mengenal dan menghargai. Al-Qur’an
juga menyatakan bahwa perbedaan warna kulit dan bangsa harus diterima sebagai
kenyataaan yang positif, yang merupakan salah satu dari tanda-tanda kekuasaan
Allah. Dalam ayat lain ditegaskan,
tentang kemajemukan pandangan dan cara hidup diantara manusia yang tidak perlu
menimbulkan kegusaran, akan tetapi hendaknya dipahami. Sebagai pangkal tolak
dorongan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, karena tuhan sendirilah yang akan
menerangkan sebab-sebab manusia berbeda nanti ketika kita kembali kepada Nya. Sikap toleransi (tasamuh) ini dalam
sejarah dakwah Nabi pernah dicontohkan dengan jelas, ketika berhadapan
dengan kelompok lain di Madinah. Menghadapi pluralistik masyarakat Madinah ini
Nabi berusaha mencari titik temu berbagai golongan dengan terlebih dahulu
mengakui eksistensi mereka. Keterangan demikian dapat dikaji dalam dokumen yang
populer disebut “Konstitusi Madinah”
C. Konflik
Sosial
Dalam wacana, teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan diantara kelompok dan kelas serta kecenderungan kearah perselisihan, ketegangan, dan perubahan. Yang harus digaris bawahi adalah “ masyarakat “. Karena, masyarakat menjadi lahan untuk menumbuhkan dan memyuburkan konflik. Diantara faktor yang mempengaruhi kearah seperti itu bisa bermacam-macam, diantaranya, faktor ekonomi, politik, social, bahkan agama.
Apabila merujuk pada al-quran, banyak indikasi yang menjelaskan adanya faktor konflik yang ada di masyarakat. Secara tegas al-quran menyebutkan:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).(Ar-Rum: 41).
Ayat ini bisa dijadikan argumentasi bahwa penyebar konflik sesungguhnya adalah manusia. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan melihat dari segi penganut agamanya, bukan agamanya.
Dalam wacana, teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan diantara kelompok dan kelas serta kecenderungan kearah perselisihan, ketegangan, dan perubahan. Yang harus digaris bawahi adalah “ masyarakat “. Karena, masyarakat menjadi lahan untuk menumbuhkan dan memyuburkan konflik. Diantara faktor yang mempengaruhi kearah seperti itu bisa bermacam-macam, diantaranya, faktor ekonomi, politik, social, bahkan agama.
Apabila merujuk pada al-quran, banyak indikasi yang menjelaskan adanya faktor konflik yang ada di masyarakat. Secara tegas al-quran menyebutkan:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).(Ar-Rum: 41).
Ayat ini bisa dijadikan argumentasi bahwa penyebar konflik sesungguhnya adalah manusia. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan melihat dari segi penganut agamanya, bukan agamanya.
Penganut
agama adalah orang yang meyakini dan meyakini suatu ajaran agama. Keyakinannya
itu akan melahirkan bentuk perbuatan baik maupun buruk, yang dalam terminologi
islam disebut “amal perbuatan”. Dari mana mereka meyakini bahwa suatu perbuatan
itu baik dan buruk. Keyakinan ini dimiliki dari rangkaian proses memahami dan
mempelajari ajaran agama itu. Oleh karena itu, setiap penganut akan berbeda dan
memiliki kadar intepretasi yang beragam dalam memahami ajaran agamanya, sesuai
dengan kemampuanya msing-masing.
Akibat perbedaan pemahaman itu saja, cikal bakal konflik tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian, pada sisi ini agama memiliki potensi yang dapkat melahitkan berbagai bentuk konflik (intoleransi). Paling tidak, konflik seperti ini adalah konflok intra- agama atau disebut juga konflilk antar madzhab, yang diakibatkan oleh perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama.
Disfungsi agama, kekaburan hubungan antara agama dengan masyarakat, dan peranan agama dalam melahirkan serta memperbesar terjadinya konflilk social secara keseluruhan dipersulit oleh kenyataan bahwa kelembagaan agama itu sendiri menghasilkan seperangkat dilema yang secara structural inheren, dan itupun dapat dianggap sebagai ciri khas perkembangan organisasi keagamaan. Konflik sosial bisa dikatakan telah setua peradaban manusia itu sendiri. Setiap benturan antar kepentingan terjadi, disitulah muncul peluang konflik sosial. Konflik dalam masyarakat di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu konflik vertical dan horizontal. Kedua tipe ini bisa berjalan sendiri-sendiri , namun terkadang juga bisa saling terkait. Konflik vertical dan horizontal dapat terjadi atas dua alasan:
Akibat perbedaan pemahaman itu saja, cikal bakal konflik tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian, pada sisi ini agama memiliki potensi yang dapkat melahitkan berbagai bentuk konflik (intoleransi). Paling tidak, konflik seperti ini adalah konflok intra- agama atau disebut juga konflilk antar madzhab, yang diakibatkan oleh perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama.
Disfungsi agama, kekaburan hubungan antara agama dengan masyarakat, dan peranan agama dalam melahirkan serta memperbesar terjadinya konflilk social secara keseluruhan dipersulit oleh kenyataan bahwa kelembagaan agama itu sendiri menghasilkan seperangkat dilema yang secara structural inheren, dan itupun dapat dianggap sebagai ciri khas perkembangan organisasi keagamaan. Konflik sosial bisa dikatakan telah setua peradaban manusia itu sendiri. Setiap benturan antar kepentingan terjadi, disitulah muncul peluang konflik sosial. Konflik dalam masyarakat di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu konflik vertical dan horizontal. Kedua tipe ini bisa berjalan sendiri-sendiri , namun terkadang juga bisa saling terkait. Konflik vertical dan horizontal dapat terjadi atas dua alasan:
1. Ketidakmampuan Negara mengelola
berbagai kepentingan masyarakat Indonesia yang majemuk.
2. Keterlibatan Negara (pemerintah)
bersikap berat sebelah dalam rangka memaknai konstalasi kepentingan mereka
ketika berlawanan dengan kepentingan publik.
Sedangkan
untuk penanganan penyelesaian kekerasan sebagai buah konflik dalam dua aspek
sekaligus yaitu:
1. Penghentian kekerasan harus dilihat
secara serentak dalam struktur masyarakat, seperti adanya ketidakadilan dan
penyimpangan kekuasaan. Semakin tidak adil struktur masyarakat dan semakin kuat
tingkat represi kekuasaan akan makin tinggi pula skala dan frekuensi kekerasan
dan konflik. Pemicu kekerasan dan konflik dapat berangkat dari berbagai aspek
seperti; ekonomi, politik, tanah, pemilu, perbedaan paham dan sebagainya.
2. Metode penanganan kekerasan. Apakah
penyelesaian kekerasan boleh dilakukan dengan kekerasan pula? Secara tegas
tentu jawabannya adalah “tidak”. Setiap tindak kekerasan sudah pasti
tidak akan melahirkan kedamaian, namun justru akan memperluas dan
memperbesar skala konflik.
Kesantunan
budaya muslim Indonesia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari ajaran Al
Qur’an yang memerintahkan setiap orang beriman untuk menghargai satu sama lain
atas dasar kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Q.S. Ali Imran, 3: 64).
Toleransi dan pemahaman Muslim di Indonesia tentunya juga diilhami oleh ayat “ Untukmu
Agamamu dan untukku agamaku” (Q.S. Al Kafirun, 109: 6). Al Qur’an juga
menyebutkan bahwa di dalam masyarakat yang beragam, semua agama dapat hidup
damai secara berdampingan, dengan sikap saling menerima dan kreatif melebihi
toleransi semata. Yang tak kalah menariknya adalah, bahwa sikap eksklusivisme
agama tidak sesuai dengan jiwa dan pandangan Islam.
D. Agama,
Politik dan Kekerasan Sosial
Dalam
sejarah agama-agama, kekuatan agama di satu sisi dan kekuatan agama di sisi
lain seringkali terjadi ketegangan dan saling berhadapan. Misi agama Ibrahim
menghancurkan bangunan politik Raja Namrud yang establish. Dakwah Nabi Musa
meneggelamkan Fir’aun (Ramses II) beserta pengikutnya ke dasar laut merah.
Demikian juga kebangkitan Nabi Muhammad sebagai penutup nabi mengakhiri
hegemoni politik kaum Quraisy. Bahkan pada akhirnya mampu menjadi negara
“adikuasa” menggantikan dua super power di barat Imperium Romawi dan super
power di Timur kerajaan Persia Raya. Terjadinya kontradiksi antara dua kekuatan
agama dan politik bisa jadi karena perbedaan misi dari keduanya. Agama membawa
misi moral dan politik bertujuan mencari kekuasaan. Agama memperjuangkan tegaknya
nilai-nilai kemanusiaan yang universal, sedangkan politik boleh jadi mempolarisasi
manusia berdasarkan kepentingan individu dan kelompok
Fenomena
ketegangan antar agama dan politik ini telah menjadi kenyataan di Eropa pada
abad pertengahan, ketika gereja dianggap menjadi penghalang proses
moderenisasi. Atas dasar ini cendekiawan barat umumnya begitu yakin bahwa
persoalan politik dan moderenisasi harus dipisahkan dengan persoalan agama,
yang kemudian populer dengan istilah sekularisasi. Sejarah mencatat terjadinya
Perang Salib yang berlangsung selama berabad-abad antar Islam-Kristen. Perang
saudar Hindu-Muslim di India, Perang Arab-Israel di Timur, perang
Muslim-Kristen di Bosnia Herzegovina, dan belakangan pecah di Ambon (antar
Islam-Kristen). Perang agama telah menghancurkan peradaban yang sangat dahsyat.
Sulit dibedakan apakah satu peperangan atau konflik sosial muncul karena faktor
agama atau faktor politik. Boleh jadi kepentingan ekonomi atau separatisme
menunggangi agama. Misalnya, perang Iran-Iraq yang berlangsung selama 8 tahun,
sebenarnya bukan perang Islam Sunni di Iraq dengan Islam Syi’i di Iran,
melainkan kepentingan pihak ketiga yaitu Amerika. Demikian juga perang
Arab-Israel, perang Vietnam dan sebagainya. Uraian di atas memberikan
pengertian bahwa apabila kemauan politik (political will) bertentangan
dengan ide moral agama, maka ketegangan/konflik sosial akan terjadi. Idealnya
misi agama dan politik dalam suatu masyarakat bangsa harus bisa berjalan
selaras, saling mengisi dan bukan saling menunggangi. Kolonialisme di
Indonesia, misalnya, mendapatkan perlawanan yang keras dari umat Islam, karena
tidak saja menjajah secara fisik, material dan politis, tetapi juga menjajah
ideologi Islam dan bahkan membawa Ideologi baru (Kristen) yang bertentangan
dengan nilai-nilai Islam yang berkembang. Gencarnya perlawanan kaum Muslimin
terhadap Belanda yang dicap sebagai “bangsa kafir” mendorong Belanda
untuk mengubah strategi pendekatan untuk memperoleh simpati dan dukungan dari
umat Islam. Tiga strategi yang diterapkan yang sekarang ini dirasakan
pengaruhnya adalah;
1. Memisahkan urusan agama dengan
politik, yang disebut sekularisasi;
2. Memanfaatkan agama dan para tokohnya
untuk mendukung dan sebagai justifikasi segala kebijakan yang ditempuh,
3. Missionaris Kristen dilakukan secara
samar dan persuasif.
Agama-agama
memang mengajarkan kepada umatnya kerukunan dan kedamaian hidup. Tetapi dalam
implementasinya, keberagaman muncul dalam bentuk fanatisme sempit, ditambah
dengan upaya-upaya politisasi agama yang marak pada era Multi partai sekarang
ini. Dalam prespektif integrasi nasional, di samping faktor fanatisme agama
tersebut, maka ada beberapa faktor yang dapat memicu lahirnya konflik dan
kekerasan yang harus diperhatikan. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Adanya pertarungan amatir antar
kekuatan untuk dapat masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Kekuatan-kekuatan
tersebut dapat berbentuk Parpol, Ormas, dan LSM sertadapat bersifat perorangan,
seperti para elite polotik, eliteorimordial yang dekat dengan kekuasaan, dan
sebagainya. Pertarungan antar kekuatan inilah potensial terjadinya konflik
massa.
2. Media informasi yang bebas dan
hampir-hampir out of control juga dapat medorong ke arah disintegrasi.
Seringkali opini politik dibangun, didesain sedemikian rapi untuk sarana-sarana
tertentu.
3. Intervensi pihak asing baik langsung
maupun terselubung. Secara langsung kita melihat betapa kuatnya pengaruh IMF
dan desakan negara-negara maju terhadap Indonesia. Umumnya pihak asing
mempunyai misi mengarahkan Indonesia menjadi negara yang tak berdaya dan selalu
tergantung kepada pemberian-pemberian yang tidak imbang,
4. Keresahan masyarakat lapis bawah
yang merasa ditinggalkan oleh para elite politik yang dulu memberi janji-janji
manis, setelah Pemilu usai mereka kecewa.
5. Fenomena budaya yang kontradiktif
sedang terjadi, antara budaya feodalistik otoritarian pengikut status
quo, dengan budaya demokratis yang sedang berkembang. Sebagian
masyarakat masih menggambarkan massa lalu lebih baik daripada masa kini, atau
masa depan.
6. Kemiskinan dan tekanan ekonomi yang
kian sulit pada masyarakat kelas bawah. Kondisi seperti ini sangat
dikhawatirkan menjadi pemicu terjadinya revolusi social atau kekerasan social
E. Agama
Sebagai Ajaran Kedamaian
Agama dan
kekerasan tentu merupakan dua hal yang paradok. Semua agama tentu mengajarkan
kepada umatnya tentang kerukunan, kedamaian, keadilan, toleransi (tasamuh)
dalam keberagaman, saling menghormati dan menghargai sesama. Ajaran agama
memberikan arah untuk mewujudkan pribadi yang paripurna (insan kamil),
berpikir/berprasangka yang positif. Agama dan akal sehat akan menghindari
sejauh mungkin konflik dan perpecahan dalam umat, terlebih disertai dengan
tindak kekerasan. Ajaran Islam sangat menganjurkan semua pemeluknya untuk
senantiasa hidup rukun, bersatu dan tidak terpecah belah, sebagaimana
disebutkan dalam Al Qur’an’ “Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama)
Allah dan janganlah kamu bercerai berai …”. Di dalam ayat lain dinyatakan
pula bahwa manusia adalah umat yang satu (Ummatan wahidah), “Manusia
itu adalah umat yang satu, maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar
gembira dan peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar
untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.”
Kerukunan dan persaudaraan di dalam istilah Islam disebut dengan “ukhuwwah”,
yang berarti persamaan dan keserasian dalam banyak hal. Ukhuwwah dalam
arti asalnya, yaitu persamaan, sebagaimana yang ditunjukkan dalam beberapa ayat
maupun hadits Nabi, maka ukhuwwah dapat diklasifikasikan dalam empat
tingkatan, sebagai berikut:
1. Ukhuwwah
fi al-‘Ubudiyyah,
yaitu ukhuwwah yang dibangun atas dasar persamaan
se-mahluk. Manusia, binatang, tumbuhan dan alam semesta adalah sama-sama
sebagai ciptaan Allah, yang oleh karenanya harus dapat hidup berdampingan.
Persaudaraan se-mahluk ini misalnya ditunjukkan dalam firman Allah:“ Dan
tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi, dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, kecuali umat seperti kamu juga.” (Q.S. al-An’am:38) Persamaan
lain adalah, sebagai mahluk ciptaan Allah yang sama-sama tunduk dan sujud
kepada Allah. Dalam Al-Qur’an disebutkan: “ Apakah kamu tiada
mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi,
matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang melata, dan
sebagian besar manusia.” (Q.S. al-Hajj: 18) Dari konsep ukhuwwah semahluk
ini, manusia dituntut berbuat baik dan ramah kepada alam lingkungannya. Dalam
ajaran Islam, seorang muslim tidak boleh menyiksa binatang; menyembelih harus
dengan pisau yang tajam,
2. Ukhuwwah
fi al-Insaniyyah/Basyariyyah
yaitu persaudaraan yang dibangun atas dasar persamaan
kemanusiaan. Manusia berasal dari keturunan yang sama, mempunyai bentuk fisik
yang sama, diberikan potensi dasar yang sama, akal dan perasaan. Dari persamaan-persamaan
inilah, sesama manusia harus hidup bersaudara dan saling membantu dalam
memenuhi berbagai kebutuhannya. Dan persaudaraan basyariyyah tidak
membedakan batas-batas agama, warna kulit, budaya, partai politik, status
sosial dan sebagainya. Jadi ukhuwwah jenis ini dibangun atas
prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal (lihat Q.S. al-Hujarat: 13).
3. Ukhuwwah
fi al-Wathaniyyah wa al-Nasb,
yaitu persaudaraan yang dibangun atas dasar
persaman-persamaan sebangsa (tanah air) dan seketurunan (suku). Ukhuwwah
Wathaniyyah termanifestasikan dalam bentuk-bentuk; cinta tanah air, rasa
memiliki dan mempertahankannya,yang sering disebut dengan istilah nasionalisme.
Nasionalisme ini juga dibenarkan oleh Islam. Sabda Nabi”hubb al-wathan min
al-iman” (Cinta tanah air adalah sebagian dari iman). Sedangkan persaudaraan
seketurunan akan melahirkan “nepotisme”, yaitu perasaan ingin
mendahulukan kerabat dari orang lain yang bukan kerabat. Nepotisme seperti ini
sebenarnya tidak salah. Ajaran Islam justru selalu menekankan agar mendahulukan
keluarga dekat, baru kemudian orang lain, baik dalam mendermakan harta maupun dalam
mendakwahkan agama.[22] Nepotisme yang dilarang adalah
bentuk-bentuk mendahulukan dan memproteksi keluarga dengan cara yang tidak
adil, pilih kasih, dan merampas hak-hak orang lain yang bahkan keluarga. Ukhuwwah
jenis ini cakupannya lebih sempit, namun ikatan atau fanatismenya lebih
kuat.
4. Ukhuwwah
fi al-Din al-Islam (Islamiyyayh)
yaitu persaudaraan yang dibangun atas persamaan seagama
Islam. Ungkapan “Sesama muslim adalah saudara” adalah prinsip Islam yang sangat
jelas diterangkan dalam Al-Qur’an, maupun dalam hadist Nabi. Di antaranya Nabi
Saw bersabda: “Janganlah kamu saling dengki dan saling bermusuhan, dan
jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Janganlah kamu saling
mengkhianati, saling membohongi, dan jangan pula meninggalkan (saudara sesama
muslim) tanpa pertolongan.”
Dalam
hadist lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Nabi Saw juga bersabda: “
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kecintaan mereka, belas kasihan mereka,
dan kelembutan mereka adalah bagaikan satu badan. Apabila salah satu dari
anggota badan itu menderita, maka menjalarlah penderitaan itu ke seluruh badan,
sehingga tidak bisa tidur dan terasa panas.”.
Menghadapi perbedaan golongan dan
perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakat, baik yang bersifat internal
(interen umat beragama) maupun eksternal (antar umat beragama) agar
tidak berimplikasi negative, maka perlu ditegakkan beberapa prinsip dan etika
sebagai berikut:
- Perbedaan adalah sunnat Allah. Dunia ini ada karena dibangun oleh pertautan berbagai unsur yang berbeda. Manusia diciptakan dalam dua jenis; laki-laki dan perempuan, dengan sifat baik dan buruk, ada yang kaya dan miskin, beriman dan kafir, surga dan neraka, dan sebagainya. Allah Swt berfirman:“ Untuk tiap-tiap umat diantara kamu (umat Muhammad dan sebelumnya), kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguju kamu terhadap pemberianNya, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”. (Q.S. al-Maidah: 48)
- Dalam Islam, perbedaan pendapat dan lahirnya golongan-golongan sudah mulai muncul pada masa Khulafah ar-Rasyidin dan terus berkembang pada periode-periode berikutnya. Dalam bidang teologi, misalnya, lahir kelompok Syi’ah, Khawarij, Hanafi, Syafi’i, Hambali, Zhahiri, dan sebagainya. Perbedaan ini tidak bisa dielakkan, karena Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber ajaran Islam yang utama bersifat Interpretable, dan potensial dipahami secara berbeda.
- Menghilangkan perbedaan adalah hal yang mustahil, karena bertentangan dengan sunnat Allah. Yang penting adalah, menegakkan etika berbeda pendapat, yang meskipun berbeda-beda pandangan dan golongan, tetapi dapat hidup rukun dan aman. Ada beberapa etika yang harus dipegangi demi terwujudnya integritas social diantaranya :
a. Tidak boleh merasa benar sendiri,
karena kebenaran mutlak adalah milik Allah dan kebenaran penemuan manusia bersifat
relatif.
b. Perlu ditegakkan sikap-sikap
toleransi (tasamuh), sikap “tepo-seliro” saling menghormati,
tidak mengejek dan menghina pihak lain yang berbeda (Q.S. al-Hujurat: 11).
c. Dikembangkan sikap berbaik sangka (husnul
al-dzan), bersikap positif, yaitu menilai pihak lain yang berbeda secara
proporsional dari sisi kekurangan dan kelebihannya,
d. Tidak memaksakan kehendak kepada
orang lain dengan kekuasaan. Dakwah harus dilakukan secara terbuka dan
demokratis. Inilah beberapa prinsip etika bermasyarakat menurut ajaran Islam,
yang untuk saat sekarang ini semakin relevan untuk dikembangkan dalam kehidupan
masyarakat yang beragam seperti Indonesia ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sesuai fungsinya, mengambil penjelasan Hendro Puspito, bahwa fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan, dan transformative. Oleh karena itu, jika fungsi agama berjalan dengan baik, masyarakat dapat merasa aman, stabil, sejahtera dan sebagainya. Pengertian Agama Menurut Hendrapuspito, agama adalah suatu jenis sistem social yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagai mereka dan masyarakat luas umumnya.
Sesuai fungsinya, mengambil penjelasan Hendro Puspito, bahwa fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan, dan transformative. Oleh karena itu, jika fungsi agama berjalan dengan baik, masyarakat dapat merasa aman, stabil, sejahtera dan sebagainya. Pengertian Agama Menurut Hendrapuspito, agama adalah suatu jenis sistem social yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagai mereka dan masyarakat luas umumnya.
Konflik
vertical dan horizontal dapat terjadi atas dua alasan:
1. Ketidakmampuan Negara mengelola
berbagai kepentingan masyarakat Indonesia yang majemuk.
2. Keterlibatan Negara (pemerintah)
bersikap berat sebelah dalam rangka memaknai konstalasi kepentingan mereka
ketika berlawanan dengan kepentingan publik.
B. Kepustakaan
Ahmad Suaedi (ed.), Kekerasan
dalam Perspektif Pesantren (Jakarta: Grasindo, 2000).
Alwi Shihab, Dr., Islam
Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999).
Donald K. Emmerson, Indonesia’s
Elite: Political Cultureand Culture Politic, (Ithaca: Cornell
University Press, 1976).
M. Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur’an, (Bandung: Mizan, cet IX, 1995).
Muhammad Husain Haikal,
Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Letera Antarnusa, 1990).
Nasikun, Dr., Sistem Sosial
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1993).
Nurcholis Majid, Islam,
Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992).
No comments:
Post a Comment