Oleh : Prof. Dr. Agus Aris Munandar
Pada tahun 1389 Masehi (1311 Saka) mangkatlah
Rajasanagara (Hayam Wuruk) raja terbesar Majapahit, ketika kerajaan itu berada
di puncak kejayaannya. Tafsiran yang dapat diangkat dari berita kitab Pararaton
adalah bahwa raja tersebut didharmakan di daerah Tanjung, nama candi pendharmaannya Paramasukhapura. Di
kalangan para ahli arkeologi terdapat interpretasi bahwa Paramasukhapura
tersebut terletak di lereng utara Gunung Wilis, mungkin dekat dengan situs
Candi Ngetos sekarang di wilayah Kabupaten Nganjuk. Memang sungguh menarik
untuk ditelisik lebih lanjut bahwa candi untuk raja terbesar Majapahit tersbut
sekarang tiada ditemukan lagi secara pasti, sementara sejumlah candi untuk
sanak kerabatnya masih bertahan hingga sekarang di beberapa daerah Jawa Timur bekas
tlatah kerajaan itu dahulu.
Sepeninggal Rajasanagara tampil tokoh penguasa
Majapahit yang baru, yaitu Wikramawarddhana yang menikah dengan Kusumawarddhani
putri Hayam Wuruk. Wikramawarddhana hanya memerintah selama 12 tahun, sekitar
tahun 1400 ia mengundurkan diri menjadi seorang pertapa (bhagawan), tahta
Majapahit diserahkan kepada putrinya yang bernama Suhita. Sebenarnya yang layak
memerintah adalah putra mahkota kakak Suhita yang bernama Bhra Hyang Wekasing
Sukha, namun ia mangkat pada tahun 1399 sebelum ditahbiskan menjadi raja.
Naik tahtanya Suhita sebagai ratu Majapahit
ternyata tidak disukai oleh salah seorang putra Hayam Wuruk yang berasal dari
selir, ialah Bhattara i Wirabhumi (Bhre Wirabhumi) walaupun ia telah menjadi
penguasa di daerah Balambangan. Demikianlah masalah ketidakpuasan terhadap
penguasa, hak untuk berkuasa, yang berujung kepada perebutan kekuasaan dalam
bentuk peperangan yang sangat berdarah adalah faktor-faktor mendasar yang
menjadi titik awal keruntuhan Wilwatikta. Dalam pada itu serangan dari kerajaan
Islam Bintara (Demak) hanyalah peristiwa pamungkas yang menyebabkan lenyapnya
Majapahit dari Tanah Jawa, karena sebelumnya telah terdapat serangkaian pemicu
ke arah runtuhnya Majapahit di awal abad ke-16 M.
Paregreg meletus pada tahun 1401 M sebagai bentuk
ketidakpuasan dan rasa berhaknya Bhre Wirabhumi atas tahta Majapahit. Mulai
tahun itu hingga tahun-tahun selanjutnya Majapahit diriuhkan oleh peperangan
antara Wikramawarddhana yang berkuasa di kadaton kulon melawan Bhre Wirabhumi
yang memimpin penyerangan dari kadaton wetan. Tidak dapat dipungkiri bahwa
dengan adanya Paregreg yang baru usai tahun 1406, rakyat Majapahitlah yang
menderita, pastinya aktivitas pertanian menurun, hubungan niaga dengan wilayah
luar Jawa terganggu, apalagi citra Majapahit di mata kerajaan-kerajaan mitra
satata di rantauan Asia Tenggara menjadi tidak berwibawa lagi.
.
.
Menuju Tenggelamnya Surya Majapahit
Setelah Bhre Wirabhumi dapat dikalahkan oleh
pihak Wikramawarddhana berkat bantuan Bhre Tumapel Bhra Hyang Parameswara, maka
Suhita melanjutkan pemerintahannya di Majapahit hingga wafatnya pada tahun 1447
M dan didharmakan di Singhajaya. Karena Suhita tidak mempunyai anak, maka
singgasana Majapahit kemudian diduduki oleh adiknya, yaitu Bhre Tumapel
Kertawijaya (1447—1451 M). Pada masa pemerintahannya ia mengeluarkan prasasti
Waringin Pitu yang bertarikh 1369 Saka
(22 Nopember 1447 M). Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa Majapahit pada dewasa
itu mempunyai 14 orang penguasa daerah sebagai berikut: (1) Batari Daha, (2)
Batari Jagaraga, (3) Batara Kahuripan, (4) Batari Tanjungpura, (5) Batari
Pajang, (6) Batari Kembang Jenar, (7) Batari Wengker, (8) Batari Kabalan, (9)
Batara Tumapel, (10) Batara Singapura, (11) Batara Matahun, (12) Batara
Wirabumi, (13) batara Keling, dan (14) Batari Kalinggapura. Berita dari
prasasti Waringin Pitu tentang para penguasa daerah tersebut menunjukkan bahwa
wilayah sebenarnya terbagi dalam
beberapa kerajaan daerah yang mengakui kedudukan raja di kedaton Majapahit
sebagai penguasa tunggal atas daerah-daerah tersebut. Penguasa selanjutnya adalah Bhra Pamotan
dengan epitet Sri Rajasawarddhana Dyah Wijayakumara yang berkuasa antara tahun
1451—1453 M.Asal-usul tokoh ini tidak begitu jelas, dugaan sementara bahwa dia
sangat mungkin salah seorang putra Wikramawarddhana pula, mungkin dari seorang
selirnya. Pararaton menyebutkan bahwa pada waktu Rajasawarddhana berkuasa ia berkedudukan
di Keling-Kahuripan. Terdapat asumsi bahwa ia tidak berkedudukan di ibukota
Majapahit, melainkan memindahkan pusat pemerintahannya di wilayah
Keling-Kahuripan. Keadaan itu mungkin ada hubungannya dengan kekalutan politik
berkenaan dengan tahta yang didudukinya. Setelah ia meninggal menurut Pararaton
kemudian didharmakan di Sepang.
Pararaton mencatat bahwa dalam masa 3 tahun
kemudian tidak ada raja di Majapahit (interregnum). Hal ini sungguh menarik
karena selama 3 tahun itu tidak ada tokoh yang dapat mengampu kerajaan yang
kejayaannya hampir pudar tersebut. Surya Majapahit yang biasa dijumpai di batu
sungkup candi-candi zaman itu dan menjadi menjadi ciri kesenian Majapahit
agaknya hampir tenggelam. Dalam keadaan terluka dan lemah akibat konflik internal, Majapahit masih mampu melanjutkan
keberadaannya sepanjang abad ke-15 M sampai keruntuhannya.
.
.
Sandyakala ing Majapahit
Pada tahun 1456 tampillah Dyah Suryawikrama
Girisawarddhana sebagai penguasa Majapahit yang memerintah selama 10 tahun.
Raja tersebut ialah salah seorang anak dari Bhre Tumapel Kertawijaya, dalam
Pararaton Dyah Suryawikrama dikenal dengan sebutan Bhra Hyang Purwwawisesa yang
setelah meninggal dicandikan di Puri. Menilik masa pemerintahannya yang relatif
lama dapat diduga bahwa kedudukannya sebagai raja Majapahit agaknya mendapat
sokongan dan kepercayaan dari para penguasa daerah. Raja selanjutnya yang memerintah di Majapahit
adalah Bhre Pandan Salas, ia dikenal pula dengan gelar resminya Dyah
Suraprabhawa Singhawikramawarddhana. Hal yang menarik dikemukakan oleh
Pararaton bahwa raja Dyah Suraprabhawa hanya memerintah selama 2 tahun,
kemudian menyingkir meninggalkan keratonnya. Menyingkirnya Dyah Surabrabhawa
dari istana Majapahit sangat mungkin disebabkan oleh adanya serangan dari pihak
lain yang juga menginginkan tahta. Dalam tahun 1473 M, ia masih mengeluarkan
prasasti Pamintihan yang isinya antara lain bahwa Dyah Suraprabhawa atau Bhre
Pandan Salas mengaku diri sebagai raja Majapahit, dan menyebut dirinya sebagai
“sri maharajadhiraja yang menjadi pemimpin raja-raja keturunan tuan gunung”
(sri giripatiprasutabhupatiketubhuta). Tokoh ini disebut sebagai “penguasa
tunggal di Tanah Jawa” (yawabhumyekadhipa) oleh Mpu Tanakung dalam manggala
kakawin Siwaratrikalpa gubahannya. Apabila disesuaikan dengan berita Pararaton
yang menyatakan bahwa Bhre Pandan Salas hanya memerintah selama 2 tahun. Mungkin dapat diartikan bahwa masa 2 tahun
itu hanyalah ketika ia masih menduduki tahtanya di kota Majapahit. Kemudian
karena adanya serangan ia terpaksa menyingkir ke pedalaman (wilayah Tumapel)
untuk meneruskan pemerintahannya, mengeluarkan prasasti, serta menjadi
pelindung pujangga yang menggubah kakawin keagamaan. Tokoh yang menyebabkan
Bhre Pandan Salas harus meninggalkan Majapahit ialah Bhre Kertabhumi yang ingin
pula berkuasa di Majapahit. Bhre Kertabhumi adalah anak bungsu dari raja
terdahulu Majapahit, yaitu Rajasawarddhana (1451—1453 M) sebelum terjadinya masa interregnum.
Bhre Pandan Salas atau Dyah Suraprabawa terus
memerintah sebagian besar wilayah Majapahit dengan berkedudukan di Tumapel
sampai tahun 1474 M. Sepeninggal Bhre Pandan Salas kedudukannya digantikan oleh
anaknya yaitu Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Pada awalnya ia masih
berkedudukan di Kling, namun ia kemudian berhasil merebut tahta Majapahit dari
tangan Bhre Kertabhumi. Pararaton mencatat bahwa pada tahun Saka
“sunya-nora-yuganing-wong” (1400 S/1478 M) Bhre Kertabhumi wafat di keraton,
mungkin akibat serangan Dyah Ranawijaya yang berhasil merebut kembali kota
Majapahit setelah ayahandanya, Dyah Suraprabhawa berhasil disingkirkan oleh
Bhre Kertabhumi. Dalam Serat Kanda dicantumkan candrasangkala
“sirna-ilang-kerta ning bhumi” yang menunjuk tahun 1400 Saka sebagai waktu
jatuhnya Majapahit akibat serangan tentara Islam Demak ke wilayah Sengguruh
untuk menaklukan raja Brawijaya. Angka tahun 1400 S (1478 M) dalam Serat Kanda
itu tidak sesuai jika dipakai untuk menandai tahun kejatuhan Majapahit ke
tangan tentara Demak, karena Pararaton jelas mencatat bahwa tahun 1478 M itu
adalah tewasnya raja Kertabhumi di keraton Majapahit, mungkin sekali karena
serangan Dyah Ranawijaya.
Majapahit masih tetap berdiri setelah tahun
1478 M, sebab Dyah Ranawijaya masih mengeluarkan prasasti-prasastinya pada
tahun 1486 M. Begitupun kegiatan keagamaan yang bercorak kehinduan di lereng
barat Gunung Penanggungan (Pawitra) masih terus bertahan hingga paruh pertama
abad ke-16 M. Artinya setelah direbutnya kota Majapahit oleh Dyah Ranawijaya
sampai beberapa tahun lamanya kerajaan itu masih bertahan, bahkan para musafir
dan pedagang Portugis masih mencatat bahwa Majapahit sebagai kerajaan kafir
masih berdiri antara tahun 1512—1518 sesuai dengan berita-berita orang Eropa
pertama yang berkunjung ke Nusantara.
Penelitian terakhir yang telah dilakukan
ikhwal keruntuhan Majapahit menyatakan bahwa kerajaan itu runtuh antara tahun
1518—1521 M. Memang benar akibat serangan tentara Demak, namun berdasarkan
perbandingan data yang terdapat dari berita-berita Eropa yang layak
dipercaya, pemimpin penyerangan ke
Majapahit itu ialah Pati Unus bukannya Raden Patah. Tokoh inilah yang berhasil
mengalahkan raja Majapahit terakhir Dyah Ranawijaya, berarti ia dapat
membalaskan kekalahan kakeknya, yaitu Bhre Kertabhumi yang dahulu berhasil
ditewaskan oleh serangan Dyah Ranawijaya di kedaton Majapahit.
Berita-berita tradisi memang menyatakan bahwa
Raden Patah adalah putra raja Majapahit Brawijaya. Kitab Purwaka Caruban Nagari
secara lebih jelas mengidentifikasikan bahwa raja Brawijaya Kertabhumilah yang
menjadi ayahanda Raden Patah, namun para penyusun sumber-sumber tradisi itu
seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda telah mengacaukan peristiwa sejarah
yang terjadi. Maklum kedua sumber sejarah Jawa itu ditulis dalam masa yang jauh
lebih kemudian, sehingga ingatan terhadap peristiwa sejarah di masa lampau
telah menjadi samar-samar.
Mengenai klimaks keruntuhan Majapahit
diuraikan dengan agak panjang dalam Babad Tanah Jawi:
“Lengkaplah para wali berunding dengan para
mukmin. Setelah selesai berunding mereka berpencar menuju Majapahit dengan
membawa banyak senjata. Samudera meluap. Ketika mereka sampai di Majapahit,
gempar orang senegeri itu. Majapahit telah terkepung, banyak prajurit berbalik.
Adipati Bintara dan adiknya masuk lewat pintu Utara. Mereka telah memasuki
kota. Para prajurit gemetar ketakutan melihat mereka.
Brawijaya segera berkata, “Syukurlah anakku
datang, Adipati Bintara. Ayo Patih, segera kita naik ke tempat yang tinggi, aku
ingin melihat anakku. Ya Patih, aku sangat rindu, karena telah lama tidak
bertemu”. Sang Raja naik ke halaman yang tinggi dan dapat melihat putranya.
Kemudian Sang Raja Brawijaya gaib. Patih pun tidak ketinggalan beserta orang-orang yang setia berbakti kepada raja.
Puri telah kosong, di luar sangat ribut, sangat menakutkan. Deru suara
orang-orang yang gaib jatuh ke samudera, bagaikan dibakar…”
Pada bagian lain Babad Tanah Jawi
mengungkapkan:
“Adipati Bintara memasuki keraton. Sangat
sunyi keadaannya karena telah ditinggalkan orang, semua mengikuti Brawijaya.
Sang Adipati lemas tidak dapat berkata-kata, hatinya pedih. Ia merasa sebagai
putra raja. Sang Adipati Bintara keluar, mewartakan hal itu kepada semua
prajurit. Demikianlah mereka pun kembali ke Bintara”
Sebagai hasil historiografi tradisional uraian
Babad Tanah Jawi tetap harus diperhatikan secara cermat, para pembaca di masa
kini mestinya harus lebih arif dalam menafsirkan peristiwa keruntuhan Majapahit
tersebut. Sangat mungkin memang benar Brawijaya Kertabhumi sangat rindu dengan
putranya, Raden Patah yang menjadi Adipati di Bintara dan telah lama tidak
datang menghadap. Ketika datang serangan ke Majapahit, Brawijaya menganggapnya
sebagai kedatangan Adipati Bintara dengan pasukannya sampai ia dan patihnya
bergegas menaiki sitinggil di lingkungan halaman keraton untuk menyambutnya.
Ternyata yang datang adalah bala-tentara Dyah Ranawijaya, sehingga ia tidak
siap untuk bertempur, maka tewaslah sang raja di kedaton Majapahit. Dalam pada
itu Raden Patah mungkin berusaha membantu ayahandanya, tetapi terlambat.
Kekalahan Brawijaya Kertabhumi atas Dyah Ranawijaya itu baru kemudian dibalas
oleh putra Raden Patah, yaitu Pati Unus yang sekaligus mengakhiri kekuasaan
kerajaan Hindu-Buddha Majapahit yang telah lama dikenal di Nusantara.
Daftar Pustaka
DAMONO, SAPARDI DJOKO & SONYA SONDAKH
(Penyunting), 2004, Babad Tanah Jawi: Mitologi, Legenda, Folklor, dan Kisah
Raja-raja Jawa. Buku I. Jakarta: Amanah Lontar.
DJAFAR, HASAN, 1978, Girindrawarddana:
Beberapa Masalah Majapahit Akhir. Jakarta: Yayasan Dana Penerbitan Buddhis
Nalanda.
MULJANA, SLAMET, 2005, Runtuhnya Kerajaan
Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LkiS.
PADMAPUSPITA, KI, 1966, Pararaton: Teks Bahasa
Kawi, Terjemahan Bahasa Indonesia. Jogjakarta: Penerbit Taman Siswa.
SUMADIO, BAMBANG (Penyunting Jilid), 1984,
Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.
YAMIN, MUHAMMAD, 1962, Tatanegara Madjapahit:
Risalah Sapta Parwa, berisi 7 Djilid atau Parwa, Hasil Penelitian
Ketatanegaraan Indonesia tentang Dasar dan Bentuk Negara Nusantara Bernama
Madjapahit, 1293—1525. Parwa II.
Djakarta: Prapantja.
No comments:
Post a Comment