Oleh : Prof.Dr.Agus Aris Munandar
Patung Ken Dedes sebagai Prajna Paramita |
BAB. I
Masa Jawa Kuno banyak menghasilkan prasasti
batu (gopala prasasti) ataupun perunggu (tamra prasasti), prasasti-prasasti
tersebut pada umumnya adalah perintah raja yang kemudian dituliskan pada bahan
yang awet, sehingga perintah sang raja tidak mudah hilang bersama berlalunya
waktu. Prasasti batu ketika pertama dijumpai umumnya diletakkan di
tempat-tempat tertentu di tengah hutan, persawahan, lereng gunung, ataupun juga
permukiman. Tidaklah diketahui secara pasti, apakah pada awalnya ketika
prasasti batu itu pertama kali ditegakkan dan diresmikan dinaungi dengan
bangunan permanen. Lain halnya dengan prasasti perunggu yang mudah disimpan dan
secara teoritis tidak mudah rusak atau aus hurufnya karena senantiasa
dipelihara dan dirawat baik oleh para pemegang prasasti dan anak keturunannya,
oleh karena itu banyak prasasti tembaga yang ditemukan masih dalam keadaan
relatif baik, hurufnya masih jelas dan mudah terbaca. Prasasti-prasasti batu
bernasib tidak seberuntung prasasti tembaga, telah umum diketahui bahwa banyak
prasasti batu yang bertahan hingga kini hurufnya tidak terbaca lagi, walaupun
batu prasasti itu masih utuh.
Ada pula prasasti batu yang terpenggal menjadi beberapa bagian, dan bahkan ada pula yang pecah berkeping-keping. Kajian singkat ini berupaya untuk mengungkapkan beberapa kemungkinan terjadinya kerusakan pada prasasti-prasasti batu. Data kajian dipergunakan adalah prasasti-prasasti batu yang ditemukan di wilayah Jawa bagian timur, yang ditemukan di wilayah Lamongan, Jombang, Kediri, Blitar, dan Tulungagung. Sebenarnya ahli epigrafi Indonesia yang terkenal Boechari dalam tahun 1980-an telah menyatakan --walaupun mungkin hanya sebagai asumsi awal-- bahwa ada prasasti di wilayah Jawa Tengah yang agaknya sengaja dirusak oleh masyarakat sezamannya. Boechari menyatakan hal itu berkenaan dengan ditemukannya Prasasti Pereng (856 M) di bukit Ratu Baka yang pecah berkeping seakan disengaja untuk diremukkan. Demikianlah telaah ringkas ini sejatinya hendak melanjutkan hipotesa Boechari yang menyatakan bahwa ada kemungkinan prasasti-prasasti batu ada yang dirusak.
Ada pula prasasti batu yang terpenggal menjadi beberapa bagian, dan bahkan ada pula yang pecah berkeping-keping. Kajian singkat ini berupaya untuk mengungkapkan beberapa kemungkinan terjadinya kerusakan pada prasasti-prasasti batu. Data kajian dipergunakan adalah prasasti-prasasti batu yang ditemukan di wilayah Jawa bagian timur, yang ditemukan di wilayah Lamongan, Jombang, Kediri, Blitar, dan Tulungagung. Sebenarnya ahli epigrafi Indonesia yang terkenal Boechari dalam tahun 1980-an telah menyatakan --walaupun mungkin hanya sebagai asumsi awal-- bahwa ada prasasti di wilayah Jawa Tengah yang agaknya sengaja dirusak oleh masyarakat sezamannya. Boechari menyatakan hal itu berkenaan dengan ditemukannya Prasasti Pereng (856 M) di bukit Ratu Baka yang pecah berkeping seakan disengaja untuk diremukkan. Demikianlah telaah ringkas ini sejatinya hendak melanjutkan hipotesa Boechari yang menyatakan bahwa ada kemungkinan prasasti-prasasti batu ada yang dirusak.
.
BAB II
Di wilayah Jawa Timur cukup banyak prasasti
batu yang aksaranya tidak jelas lagi, aksara pada prasasti-prasasti tersebut
tidak bisa dibaca lagi, karena sangat tipis di permukaan batu. Menilik bahan
batunya, sangat tidak mungkin jika aksara pada prasasti tersebut rusak tergerus
oleh hujan dan panas, karena bahan batu sangat kuat (andesit) dan bukan batu
kapur yang lunak. Berdasarkan uraian Laporan Penelitian Epigrafi di wilayah
Propinsi Jawa Timur, Berita Penelitian Arkeologi No.47 (1996), dapat diketahui
sejumlah prasasti yang dicatat sebagai prasasti yang hurufnya rusak, aus, dan
tidak terbaca lagi. Seperti laporan tentang satu prasasti yang baru ditemukan,
dinyatakan bahwa,
“Di Desa Bulugledeg, Kecamatan Bendo,
Kabupaten Magetan juga ditemukan prasasti baru. Karena aus dan rusak maka
bagian yang berangka tahun dan nama raja sudah tidak terbaca. Hanya bentuk
tulisan dan nama pejabat yang masih terbaca, yaitu ‘…mahamantri i sirikan mpu…’
, dapat menunjukkan bahwa titah raja ini berasal dari jaman Kadiri (1042-1222
M)” (Suhadi & Richadiana K. 1996: 3). Dilaporkan pula di wilayah Kabupaten
Blitar, di Dukuh Besole, Desa Darungan, Kecamatan Suruwadag terdapat prasasti
batu (dinamakan Prasasti Besole) yang berukuran tinggi 157 cm dan lebar
terlebar 83 cm. Hurufnya dilaporkan sangat aus, namun dari sisa huruf yang ada
dapat diketahui beraksara Jawa Kuno. Di sisi depan prasasti dipahatkan
candrakapala lancana dan angka tahun 1054/1051 Śaka, pada sisi verso masih
terbaca aksara yang berbunyi “rumaksa praja” dan “cakrawartin”. Prasasti ini diduga
dipahatkan atas titah raja Bāmeśwara dari Kadiri yang diperkirakan memerintah
antara tahun 1038—1056 Śaka. Hal yang menarik adalah penduduk dukuh setempat
mempunyai kebiasaan yang dilakukan setiap tahun untuk mengapur permukaan
prasasti, sehingga huruf-hurufnya ada yang tertutup oleh lapisan kapur tebal,
selain memang sudah sangat tipis karena aus (Suhadi & Richadiana 1996: 24).
Prasasti lainnya dari Blitar yang baru ditemukan dan belum pernah diterbitkan
adalah Prasasti Pagiliran. Batu prasasti ditemukan di lahan kebun di Dukuh
Karangturi, Desa Jajar, Kecamatan Talun, keadaannya sangat tidak lengkap,
batunya telah rumpang, dan penduduk menambahinya dengan semen. Berdasarkan sisa
aksara yang ada, dapat diketahui bahwa uraian prasasti dipahatkan di keempat
sisi batu. Pada bagian recto batu dipahatkan bentuk candrakapalalancana, angka
tahun 1056 Śaka, dan nama raja yang terpotong “…janiwaryyawiryya parakrama
digwijayot-tunggadewa…” dan nama thani Pagiliran (Suhadi & Richadiana 1996:
25) Di Dukuh Rejowinangun, di depan masjid Desa Plosorejo, Kecamatan
Kademangan, Blitar terdapat juga bentuk batu prasasti yang telah aus hurufnya.
Di sisi recto di bagian puncak prasasti terdapat lingkaran yang juga sudah
tidak ada pahatannya lagi, mungkin dahulu dipahatkan lanchana dari raja yang
mengeluarkannya. Hal yang menarik di bagian tengah ditempelkan “prasasti baru”
berbentuk batu pipih perihal peresmian pembangunan masjid, tidak ada data lama
atau uraian dari prasasti lainnya yang masih dapat dibaca.
Prasasti batu yang hurufnya sangat tipis (aus)
sehingga cenderung dapat dikatakan hilang misalnya Prasasti Makam Soka di
Tulungagung. Prasasti batu tersebut masih berdiri utuh, namun hurufnya sama
sekali tidak tersisa lagi, ada memang jejak bekas huruf, namun sangat tipis menyatakan
angka tahun 1123 Śaka/1201 M. Di bagian puncak batu prasasti terdapat pahatan
lingkaran yang di tengahnya terdapat bentuk persegi ganda berulang dan berakhir
spiral memusat. Di sekitar prasasti terdapat pemakaman desa dan artefak kuno
lainnya, seperti batu-batu umpak, balok batu dan lumpang. Pada bulan Oktober
2012 yang lalu tim dari Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia (FIB-UI) mengadakan survey di wilayah Lamongan. Survey
tersebut berlangsung berkat kerja sama dengan Pemerintah Daerah Lamongan,
diadakan selama beberapa hari di wilayah Lamongan Selatan. Tim berhasil
melakukan pendataan bermacam situs dan tinggalan arkeologi yang tersebar di
beberapa kecamatan. Hal yang menarik adalah ditemukannya prasasti-prasasti batu
yang agaknya masih in-situ atau pun telah bergeser dari tempat awalnya.
Berdasarkan pengamatan langsung dapat diketahui bahwa banyak prasasti permukaan
batunya telah licin tanpa aksara, ada pula yang pecah, dan hanya tersisa
sepotong pecahan batunya saja. Misalnya saja Prasasti Sedah yang terdapat di
Dusun Sedah, Desa Pule, Kecamatan Modo, dan Prasasti Titing yang terletak di
hutan jati, Dukuh Titing, Desa Sendang Rejo, Kecamatan Ngimbang, Lamongan.
Prasasti Sedah sekarang dalam posisi berdiri,
di dekatnya terdapat batu umpak yang telah lapuk, sekarang kedua benda kuno itu
telah dinaungi cungkup. Ukuran batu prasasti, tinggi tertinggi hingga puncak
lancipan 152 cm, lebar terlebar 93 cm, tebal batu 27 cm. Semua aksara yang ada
di permukaan batu telah tiada, aus di sana-sini, hanya tersisa beberapa aksara
Jawa kuno saja. Di bagian puncak prasasti terdapat lingkaran, pastinya dahulu
ada pahatan lanchana tertentu, namun sekarang telah rata saja, tanpa sisa
pahatan apapun. Sekitar 200 m di arah barat dari Prasasti Sedah, didapatkan
kepurbakalaan dari balok-balok batu dan juga dari pecahan batu alami. Penduduk
setempat menyebutnya dengan Punden Sentonorejo. Menilik sepintas bentuk inti
punden, maka segera dapat ditafsirkan sebagai suatu bentuk kijing dari makam
Islam kuno. Setelah dilakukan pengamatan dengan temuan-temuan lain di
sekitarnya, yaitu fragmen relief, pecahan-pecahan batu pipisan, lapisan pagar
keliling dan juga susunan 2 tahta batu kecil (mirip kursi dan sandarannya yang
menempel di muka tanah), maka dapat ditafsirkan bahwa punden Sentonorejo
merupakan altar persajian yang memanjang. Kronologi relatif yang dapat
ditafsirkan mungkin berasal dari era Majapahit akhir. Prasasti Titing ditemukan
di tengah tanah hutan jati, dalam keadaan berdiri, bahan batu putih, telah
dinaungi cungkup pula. Ukuran tinggi dari muka tanah 150 cm, lebar terlebar 75
cm, dan tebal batu 27 cm. Sama keadaannya dengan Prasasti Sedah, seluruh
permukaan prasasti ini pun telah aus, bahkan tanpa aksara yang tersisa. Di
bagian verso batu prasasti, pada bagian bawahnya terdapat pahatan sepasang
garis sejajar yang masih kentara, mungkin dahulu dimaksudkan sebagai akhir dari
uraian prasasti. Prasasti lainnya yang keadaan hurufnya sudah sangat aus adalah
Prasasti Gurit, prasasti batu tersebut terdapat di Desa Druju Gurit, Kecamatan
Ngimbang. Bahan batu andesit yang relatif lebih kuat dari batu putih, namun
sama seluruh aksaranya telah tiada. Ukuran batu prasasti tinggi tertinggi 172
cm, lebar terlebar 121 cm, dan tebal batu 45 cm. Sisa baris kalimat pada
prasasti itu pada sisi recto dan verso sama, yaitu 26 baris. Di arah selatan
batu prasasti terdapat sendang kuno yang di sekitarnya ditemukan fragmen
benda-benda terakota lama, dan juga fragmen keramik Cina kuno. Prasasti yang
hurufnya telah tiada adalah juga Prasasti Tugu yang terletak di Desa Tugu,
Kecamatan Mantup, Lamongan. Prasasti ini hanya tersisa batunya saja, dengan
puncak lancip segitiga, tanpa aksara lagi, dibiarkan terbuka tanpa pelindung
(cungkup) di dekat kuburan kuno sebagai punden Desa Tugu. Penduduk desa
setempat menyatakan bahwa batu pipih tersebut adalah prasasti wurung (prasasti
batal) atau calon batu prasasti.
Dalam pada itu terdapat 2 prasasti batu yang
selain permukaannya telah licin tanpa aksara juga pecah terbelah menjadi dua
bagian, yaitu Prasasti Sumbersari 1 dan 2. Prasasti Sumbersari 1 telah pecah
terpotong menjadi dua bagian, namun masih bisa disatukan dan agaknya masih
berdiri di situsnya. Prasasti tersebut sekarang dinaungi oleh cungkup tanpa
dinding dan bagian bawahnya berlantai semen. Permukaan prasasti telah halus,
tanpa aksara lagi, tidak menyisakan bentuk huruf apapun. Ukuran batu prasasti,
tinggi 144 cm, lebar terlebar 79 cm, tebal 30 cm. Sama dengan Prasasti
Sumbersari 1, Prasasti Sumbersari 2 pun terletak di Dusun Sempur, Desa
Sumbersari, Kecamatan Sambeng, Lamongan. Prasasti ini telah terpotong menjadi
dua bagian, bagian puncak telah hilang, yang tersisa sekarang hanyalah bagian
bawah prasasti, bahan dari batu putih. Ukuran dari batu yang tersisa sekarang
adalah tinggi 80 cm, lebar terlebar bagian bawah 60 cm, tebal 24 cm.
Berdasarkan pengamatan langsung terhadap batu prasastinya, dapat diketahui
bahwa aksara pada permukaan batu prasasti ini pun telah tiada, tidak berbekas
sama sekali. Prasasti Sumbersari 1 dan 2 kerusakannya ganda, yaitu batu
prasasti pecah menjadi dua bagian dan seluruh aksaranya tidak ada lagi.
Berikutnya Prasasti Brumbun dari batu andesit yang berlokasi di Dusun Brumbun,
Desa Lamongrejo, Kecamatan Ngimbang. Ukuran batu prasasti, tinggi 210 cm, lebar
90 cm, tebal 22 cm. Kondisi sekarang telah tergeletak di tanah kebun milik
penduduk setempat, sangat mungkin dahulu posisi asli prasasti ini berdiri
sebagaimana prasasti lainnya, karena pada bagian bawah prasasti terdapat bagian
batu yang menonjol (sekitar 60 cm) untuk ditancapkan di permukaan tanah atau
lapik. Prasasti batu Mendugo belum ditampilkan secara utuh, karena sebagian
terpendam masih tanah, Prasasti ini tertancap di sebuah akar pohon, dengan
kondisi pohon menjepit badan prasasti, hanya bagian tas ujung prasasti yang
terlihat dengan posisi miring. Jejak tulisan pada prasasti ini juga sangat
sulit dikenali mengingat kondisinya berlumut dan sangat aus, ditambah medan
yang sangat sulit. Lokasi di Desa Mendugo, Kecamatan Ngimbang, ukuran prasasti
baik lebar, maupun tinggi, belum diketahui secara pasti karena posisinya
tertanam dalam tanah. Hanya ketebalan saja yang dapat diukur, yaitu sekitar 20
cm.
Di Dusun Wide, Desa Sendangharjo, Kecamatan
Brondong di Lamongan utara, ditemukan prasasti batu. Prasasti Wide merupakan
satu-satunya prasasti yang ada di daerah dekat pantai, sekitar 3 km dari Bandar
Sedayu Lawas yang terkenal dalam periode akhir Majapahit. Prasasti ini sudah
sangat aus dan bahkan sangat halus sehingga tidak diketahui lagi jejak
tulisannya, kondisinya juga patah terbagi dua. Masing-masing bagian tertancap
di tanah dan disemen dengan kuat lantai pasar desa. Batu prasasti berwarna
kuning yang cukup keras dan biasa ditemukan di daerah pantai Sedayu. Lebar
terlebar dari prasasti ini adalah 110 cm, tebal 18 cm, tinggi fragmen batu
prasasti bagian bawah 65 cm dan bagian atas 45 cm dari permukaan lantai semen
sekarang. Sangat mungkin dahulu merupakan prasasti yang relatif besar, namun
karena terpecah dua dan telah ditanam di tanah maka ukuran total dari tingginya
tidak dapat diketahui lagi secara pasti. Belum pernah ada kajian terhadap
prasasti ini, karena mungkin sudah tidak mengandung data lagi akibat aksaranya
yang telah hilang. Pada akhirnya harus disebutkan adanya dua prasasti batu
berbentuk pipih dengan puncak kurawal di Depan Masjid Agung Lamongan. Informasi
tentang dua prasasti batu tersebut telah dicantumkan dalam Berita Penelitian
Arkeologi No.47 (1996) sebagai berikut: “Di halaman masjid besar di Kota
Lamongan ada dua batu berbentuk prasasti yang diletakkan di halaman masjid
dekat pintu gerbang. Masing-masing batu ditegakkan mengapit pintu gerbang,
jarak antara keduanya sekitar 10 m dan didirikan tegak di atas landasan semen
dengan kedua sisi batu menghadap arah utara-selatan. Bahan batunya dari kapur
[sic!] yang agaknya berasal dari pantai karena ada fosil kerang laut melekat
pada batu ini. Potongan batunya sama seperti bentuk prasasti jaman Airlangga.
Keadaan permukaan batu sangat aus dan tidak tampak sisa-sisa tulisannya,
rupanya batu ini masih berupa calon prasasti. Ukuran batu sebelah kiri ialah:
tinggi 116 cm, lebar 94 cm, dan tebal 9 cm. Batu yang sebelah kanan (selatan)
berukuran 112 x 100 x 23 cm” (Suhadi & Richadiana K. 1996: 41). Agaknya
kedua batu prasasti tersebut berasal dari suatu tempat di wilayah Lamongan, dan
kemudian dipindahkan ke halaman masjid besar di Lamongan setelah zaman yang
lebih kemudian. Pengamatan ulang yang dilakukan oleh tim survey arkeologi FIB
UI terhadap kedua batu prasasti tersebut, menyimpulkan memang tidak ada
tanda-tanda aksara lagi di batu tersebut, permukaannya halus dan licin saja
tanpa sisa goresan bekas huruf.
Demikianlah beberapa prasasti batu yang
keadaan tulisannya telah banyak yang rusak, aus, bahkan terpenggal menjadi
beberapa bagian. Hal yang cukup menarik untuk dibahas lebih lanjut adalah
sebab-sebab terjadinya kerusakan aksara pada permukaan prasasti. Apakah benar
prasasti-prasasti itu aksara hilang karena batunya lapuk dan usang?, Apakah
alam begitu berpengaruh sehingga merusakkan aksara yang dipahatkan pada
batu-batu prasasti yang relatif keras?, jika benar akibat kerusakan alam, maka
mengapa seluruh aksara pada prasasti lenyap dari permukaan batu?, jika benar
demikian tentunya memerlukan proses panjang yang menyeluruh terhadap
keseluruhan permukaan batu. Penjelasan lainnya perihal hilangnya aksara pada
prasasti-prasasti batu itu adalah karena batu-batu itu barulah calon prasasti
yang akan dipahati dengan tulisan, jadi belum menjadi prasasti sebenarnyanya.
Jika benar hipotesa tersebut maka menyusul pertanyaan berikut, mengapa banyak
sekali batu calon prasasti, agaknya raja-raja kemudian tidak jadi memerintahkan
untuk menuliskan prasasti, jadi batu-batunya terbengkalai. Logikanya penulisan
prasasti biasa terjadi jika sudah ada kepastian perintah dari raja, sehingga
perintah itu diabadikan, bukan sebaliknya materialnya dahulu yang dipersiapkan,
tanpa perintah dari raja, jadi hipotesis itu pun agak lemah sifatnya.
BAB. III
Peperangan dan konflik antarkerajaan
sebenarnya telah menjadi bagian uraian dari sejarah kuno Indonesia, terutama di
Tanah Jawa. Uraian tentang peperangan yang mengesankan terdapat dalam Carita
Parahyangan, disebutkan bahwa Raja Sanjaya anak dari Raja Sannaha dalam masa
Mataram Kuno melakukan berbagai peperangan untuk memperluas kekuasaannya di
Tanah Jawa bahkan hingga hingga luar Jawa (Atja, 1968). Konflik lainnya yang
tercatat dalam prasasti antara lain terjadi pada pertengahan abad ke-9, menurut
tafsiran J.G.de Casparis telah terjadi pertempuran dahsyat di perbukitan Ratu
Baka, antara pihak Balaputra dengan Rakai Pikatan sebagaimana yang dapat
ditafsirkan dari Prasasti Siwagrha tahun 856 M (De Casparis, 1956). Peristiwa
peperangan justru semakin kerapkali terjadi ketika pusat kekuasaan kerajaan
telah berpindah di wilayah Jawa bagian timur. Beberapa peperangan yang dapat
dicatat adalah sebagai berikut: 1.Peperangan yang terjadi dalam abad ke-11 M,
ketika kerajaan Dharmmawangsa Tguh diserang dengan tiba-tiba oleh tentara
Wurawari yang datang dari Lwaram.
2.Peperangan yang dilakukan oleh raja
Airlangga terhadap beberapa kerajaan yang tidak mengakui kekuasaannya (Susanti
2010: 4). Bahkan ketika tinggal di hutan para pendeta berharap agar Airlangga
dapat memperoleh pohon kalpataru yang mengabulkan keinginan untuk melindungi dunia,
memperbaiki semua bangunan suci dan menghancurkan kekuatan jahat di dunia
(Soemadio 1984: 176). 3.Peperangan antara Janggala dan Panjalu setelah
Airlangga membagi kerajaannya dengan bantuan Aryya Bharadah 4.Pertempuran
antara Kadiri dan Tumapel yang berlangsung tahun 1222 di utara Desa Ganter,
demikian menurut kitab Pararaton. 5.Penyerbuan tentara Jayakatwang dari
Gelang-gelang terhadap Kutharaja Singhasari sehingga raja terakhir Singhasari,
yaitu Krtanagara tewas di istananya. 6.Peperangan mengalahkan raja Jawa
Jayakatwang yang berkedudukan di Kadiri antara bala tentara Kubhilai Khan yang
dibantu oleh pasukan-pasukan orang Majapahit yang dipimpin oleh Raden Wijaya.
Perang Paregreg (1403—1406), merupakan perang saudara di Majapahit
memperebutkan tahta kerajaan. Peperangan ini yang menjadi awal kemerosotan
Majapahit hingga akhirnya runtuh sama sekali di awal abad ke-16 M. Setelah
Paregreg sebenarnya terjadi lagi beberapa peperangan di Majapahit, intinya
memperebutkan kekuasaan tertinggi di Jawa bagian timur. Konflik itu terjadi di
antara sesama dinasti Rajasa sendiri. Di antara banyak peperangan tersebut,
terdapat peperangan yang berakibat kepada berubahnya sejarah dinasti-dinasti
raja di Jawa, yaitu (1) konflik panjang antara Janggala-Panjalu dan (2) pertempuran
antara Krtajaya (Dangdang Gendis) dari Kadiri melawan Ken Angrok dari Tumapel.
Peperangan yang berlangsung dalam zaman Airlangga sewaktu ia menegakkan
kerajaan warisan Dharmmawangsa Tguh, dan disusul dengan perselisihan antara
Janggala-Panjalu merupakan pertanda berdirinya era baru, yaitu masa Kerajaan
Kadiri yang senantiasa mengacu kepada Raja Airlangga. Hal itu dapat diketahui
dengan adanya penggunaan Garudamukhalanchana pada beberapa prasasti raja-raja
Kadiri. Lanchana yang sama awalnya diperkenalkan oleh Airlangga pada
prasasti-prasastinya.
Konflik kedua yang melahirkan dinasti baru
adalah antara Ken Angrok sang wangsakara dinasti Rajasa mengalahkan Srěngga
Kŗtajaya raja Kadiri, tahun 1222 M. Dengan dikalahkannya Kadiri, maka secara
politik kekuasan dinasti Iśana berakhir, berganti dengan zaman
Singhasari-Majapahit yang diperintah oleh raja-raja keluarga Rajaśa.
Sebagaimana telah diketahui bahwa setelah Airlangga membagi dua kerajaannya
menjadi Janggala dan Panjalu, kemudian terjadi konflik di antara keduanya.
Berdasarkan uraian Prasasti Turun Hyang B (diperkirakan tahun 966 Śaka/1044 M,
disebutkan bahwa raja Mapanji Garasakan yang memberikan hadiah kepada penduduk
Turun Hyang sebab mereka telah membantu sang raja ketika perang memisahkan diri
dari Haji Panjalu. Raja Garasakan masih mengeluarkan prasasti Malenga 974 Śaka/
1052 M, isinya antara lain memberitakan bahwa ia berhasil mengusir raja
musuhnya, yaitu Linggajaya dari istananya di daerah Tanjung. Agaknya telah
terjadi peperangan antara Janggala dan Panjalu, Raja Mapanji Garasakan dari
Janggala kemudian memisahkan kerajaannya dari Panjalu. Raja-raja lain yang
memerintah di Janggala setelah Mapanji Garasakan ialah Śrî Samarotsaha yang
mengeluarkan prasasti Sumengka tahun 981 Śaka/1059 M, Boechari menyatakan bahwa
Samarotsaha hanyalah menantu Mapanji Garasakan, jadi tidak berhak atas tahta
kerajaan (Boechari 1968), sebab muncul raja Mapanji Alanjung Ahyes Makoputadanu
yang mengeluarkan Prasasti Banjaran tahun 974 Śaka (1052 M). Agaknya Alanjung Ahyes
memerangi Samarotsaha dan Janggala dengan bantuan raja bawahan dari Banjaran
(Sumadio 1984: 259--60). Maka dari itu Janggala mempunyai dua raja yang
masing-masing mengaku mempunyai hubungan dengan Airlangga sebab
prasasti-prasasti keduanya menggunakan lambang Garudamukha. Selanjutnya perihal
Kerajaan Janggala tidak ada beritanya, sumber-sumber sejarah sampai sekarang
masih bungkam belum ada penjelasan perihal nasib Janggala dalam era berikutnya.
Kemudian muncullah Kerajaan Panjalu atau Kadiri yang beribukota di Daha dalam
sejarah kuno di Jawa Timur. Raja yang memerintah di Kadiri ialah : 1.Śrî
Bāmeśwara (1117—1135 M), merupakan raja pertama yang mengaku sebagai penguasa
Kadiri dan mendapat pengakuan dari Cina (Coedes 2010: 233). 2.Śrî Warmmeśwara
Maduhusudanawataranindita alias Jayabhaya yang memerintah antara tahun
1135—1159 M, 3.Śrî Sarwweśwara memerintah antara tahun 1159 sampai tahun 1169
M, Śrî Aryyeśwara, memerintah dari tahun 1091 Śaka/1169 M (angka tahun dalam
Prasasti Desa Weleri, Blitar) sampai tahun 1093 Śaka/1171 M (angka tahun dalam
Prasasti Angin), 5.Śrî Kroñcaryyādipa (Śrî Gandra), satu-satunya sumber
tertulis dari raja ini yang sampai pada masa sekarang Prasasti Jaring yang
berangka tahun 1103 Śaka/1181 M. 6.Śrî Kameśwara sangat mungkin memerintah
antara tahun 1182 M sampai tahun 1185 M (angka tahun yang tercantum dalam
Prasasti Ceker). 7.Kŗtajaya alias Srěngga, namanya telah tercantum dalam uraian
Prasasti Sapu Angin yang bertitimangsa 1190 Śaka/1191 M, kemudian menyusul
prasasti yang ditemukan dari Desa Kemulan, Trenggalek berangka tahun 1194 M.
Nama lengkap dalam prasasti tersebut adalah Śrî Mahārāja Śrî Sarwweśwara
Triwikramawatarānindita Srěnggalañchana Digjayottunggadewa-nama. Prasasti
termuda dari raja ini yang bertahan sampai sekarang adalah Prasasti Lawadan
berkronologi 1127 Śaka/1205 M. Raja tersebut disamakan dengan Dangdang Gendis
raja dari Kadiri yang dikalahkan oleh Ken Angrok tahun 1222 (Sumadio 1984:
265—73).
Beberapa prasasti dari raja-raja Kadiri
tersebut senantiasa memberitakan adanya peperangan, dan penduduk desa-desa
meminta anugerah raja karena dalam peperangan mereka membantu memenangkan sang
raja. Dalam Prasasti Padlegan dari Raja Bāmeśwara disebutkan bahwa rakyat Desa
Padlegan (1117 M) mendapat anugerah sima dari raja. Mereka telah membantu
sepenuhnya sang raja dalam peperangan dan bahkan menjadi pasukan pelindung raja
(Sumadio 1984: 266). Hanya saja tidak disebutkan siapa musuh Bāmeśwara dalam
peperangan tersebut, hal yang pasti telah terjadi peperangan dalam masa pemerintahannya.
Raja Jayabhaya dalam Prasasti Hantang (1057 Śaka/1135 M) juga menyebutkan
perihal kemenangan perang, bahkan pada bagian paling atas batu prasasti
dituliskan dengan huruf besar-besar dengan huruf kwadrat kalimat “Pangjalu
Jayati” (=Panjalu Menang). Prasasti ini berisikan pemberian anugerah kepada
warga Desa Hantang dan 12 desa lainnya karena telah membantu raja dalam
peperangan perebutan tahta, dan musuh tersebut berhasil dikalahkan (Sumadio
1984: 268). Dalam masa pemerintahan Jayabhaya pula digubah kitab Mahabharata
oleh Mpu Sedah dan Panuluh yang berisikan kisah peperangan demi peperangan,
dapat ditafsirkan bahwa sang raja telah mengalami banyak peperangan (Coedes
2010: 233). Dalam satu-satunya prasasti raja Śrî Kroñcaryyādipa, yaitu Prasasti
Jaring (1103 Śaka/1181 M) disebutkan juga perihal anugerah kepada penduduk Desa
Jaring dan sekitarnya, yaitu pembebasan membayar pajak karena mereka telah
memperlihatkan kesetiaannya kepada raja, dengan mempertaruhan jiwa raganya
memerangi musuh raja (Sumadio 1984: 270—71). Dengan demikian selama masa
berdirinya Kerajaan Kadiri telah terjadi berbagai peperangan yang kemudian
diperingati dalam prasasti-prasasti dan diberikan berbagai anugerah kepada
desa-desa yang penduduknya telah membantu pihak raja. Dalam pada itu menurut
Kitab Pararaton dinyatakan bahwa banyak para pendeta-brahmana dari Kadiri yang
mengungsi dan meminta perlindungan Ken Angrok di Tumapel. Hal itu terjadi
karena raja Kadiri yang bernama Dangdang Gendis (Kŗtajaya/Srengga) meminta para
Brahmana itu menyembah dirinya, ia mampu memperlihatkan dirinya sebagai
Bhattara Guru (Śiwa) yang duduk bersila di ujung tombak yang didirikan. Para
pendeta-brahmana tetap tidak mau menyembah sang raja, karena sejak zaman kuno
tidak ada pendeta yang menyembah raja (Hardjowardojo 1965: 29—30). Selanjutnya
kitab Pararaton menyatakan: “Lama2 terdengar berita bahwa Ken Angrok sudah jadi
raja dihaturkan kepada radja Dangdang Gendis bahwa sang Amurwabhumi bermaksud
akan melawan Daha. Berkata Dangdang Gendis: “Siapa jang dapat mengalahkan
keradjaan ini, mungkin kalah kalau bhatara Guru sendiri turun dari langit”.
Dihaturkan kepada Ken Angrok bahwa radja Dangdang Gendis berkata demikian.
Berkatalah sang Amurwabhumi: “Hai para pendeta Çiwa-Buddha semuanja,
idjinkanlah saja memakai nama bhatara Guru”. Demikianlah asal mulanja dia
bernama bhatara Guru, ditahbiskan oleh para pendeta. Lalu ia pergi memerangi
Daha. Terdengar oleh radja Dangdang Gendis bahwa sang Amurwabhumi di Tumapel
datang menjerbu Daha. Berkatalah Dangdang Gendis: “Saja akan kalah karena Ken
Angrok dilindungi dewa2”. Demikianlah pasukan Tumapel bertemu dengan pasukan
Daha, berperang di sebelah utara Ganter, bertempur sama beraninja, saling kalah
mengalahkan, terdesaklah pasukan Daha. Adik Dangdang Gendis, seorang ksatrya
bernama Raden Mahisa Walungan mati setjara ksatrya dengan seorang menterinja
bernama Gubar Baleman, adik Dangdang Gendis dan Gubar Baleman keduanja dikepung
oleh tentara Tumapel tetapi mereka bertempur dengan gagah berani. Maka larilah
tentara Daha karena pemimpinja sudah meninggal. Maka pasukan daha
bertjerai-berai seperti lebah jang dipukul sarangnja, tak ada jang kembali.
Maka Dangdang Gendis mundur dari medan perang, mengungsi ketempat perdewaan
bersama2 dengan kudanja, hambanja membawa pajung, beserta pembawa tempat sirih,
tempat air, pembawa tikar lenjap di udara. … Demikianlah Ken Angrok mengalahkan
musuh; pulamg ke Tumapel, pulau Djawa dikuasainja. Tahun dia mendjadi raja dan
kalahnya Daha adalah tahun Çaka 1144” (Hardjowardojo 1965: 30). Uraian
Pararaton sangat jelas memerikan pertempuran antara Tumapel dan Daha, memang
pertempuran tersebut tidak pernah disebutkan dalam prasasti manapun, namun
berita tersebut telah dipercaya oleh para ahli sejarah kuno Indonesia bahwa
memang benar pernah terjadi (Krom 1954: 171; Soemadio 1984: 399; Coedes 2010:
255). Akibat kekalahan Kadiri (Daha), maka berkembanglah pusat kekuasaan baru
di Jawa Timur, yaitu Singhasari yang diperintah oleh para raja keturunan Ken
Angrok. Walaupun dalam tahun 1292 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh
Jayakatwang salah seorang keturunan keluarga raja Kadiri terhadap raja terkahir
Singhasari, yaitu Krtanagara, namun tampilnya kekuatan Kadiri tersebut hanya
singkat saja selama beberapa bulan, sebab pada tahun 1293 Majapahit telah
berdiri. Sebagaimana diketahui Majapahit didirikan oleh Krtarajasa
Jayawarddhana (Raden Wijaya) yang merupakan anggota dinasti Rajasa pula.
Raja-raja Majapahit selanjutnya adalah anggota dinasti Rajasa yang bertahan
hingga keruntuhan kerajaan tersebut di awal abad ke-16 M.
.
BAB. IV
Pada bagian terdahulu telah diuraikan adanya
sejumlah prasasti batu yang aksaranya sudah tidak terbaca lagi, aus, bahkan
beberapa telah halus permukaan batunya sehingga dianggap sebagai batu calon
prasasti belaka. Hal yang sangat mengejutkan adalah tempat-tempat temuan
prasasti batu yang aksaranya aus tersebut adalah wilayah yang diperkirakan
pernah menjadi area konflik zaman Airlangga. Sebagaimana telah dibincangkan
oleh para ahli bahwa wilayah Lamongan, area pegunungan selatan Lamongan dan
Jombang bagian utara diperkirakan adalah wilayah pengembaraan, jelajah, dan
tempat-tempat pertempuran Airlangga ketika harus menundukkan sejumlah kerajaan
yang belum mengakui kekuasaannya (Sumadio 1984, Susanti, 2010), di tempat itu
pula ditemukan banyak prasasti yang aus. Prasasti-prasasti batu Airlangga yang
ditemukan relatif utuh justru ditemukan di luar wilayah Lamongan selatan dan
Jombang, sedangkan di kedua wilayah tersebut banyak prasasti yang bercirikan
batu prasasti Airlangga tetapi aksaranya hilang. Di area itu pula diperkirakan
wilayah kerajaan Janggala setelah Airlangga membagi kerajaannya. Janggala
pernah tampil dalam sejarah dengan 3 orang rajanya saja (Garasakan,
Samarotsaha, dan Alanjung Ahyes). Hal yang menarik adalah uraian prasasti
raja-rajanya selalu berkenaan dengan perang dan konflik melawan musuh-musuhnya.
Telah pula dijelaskan dalam telaah ini bahwa sejumlah prasasti raja Kadiri juga
menguraikan adanya peperangan yang menajdi alasan turunnya anugerah raja kepada
penduduk desa yang telah membantu raja dalam peperangan. Harus dijelaskan pula
bahwa akhirnya Singhasari berdiri sebagai kerajaan baru setelah tentara Tumapel
yang dipimpin oleh Ken Angrok berhasil menang meyakinkan mengalahkan Kadiri
yang pada waktu itu diperintah oleh Krtajaya atau Dangdang Gendis. Setelah
memperhatikan bermacam sumber yang menyatakan peperangan demi peperangan dalam
masa Jawa Kuno, maka peristiwa peperangan sejenis dan dampaknya tentu terjadi
pula di tempat lain di dunia. Biasanya dampak dari peperangan yang kerapkali
terjadi secara umum dalam sejarah kebudayaan dunia adalah sebagai berikut:
1.Apabila ada dua pihak yang berselisih dan berperang, maka wilayah negara atau
kerajaan yang dikalahkan lalu disatukan menjadi wilayah kerajaan pemenang.pihak
yang menang 2.Pihak pemenang akan menghancurkan semua simbol-simbol kekuasaan
yang kalah (pembakaran bendera, pemusnahan panji-panji kebesaran, penghancuran
simbol-simbol negara, penghancuran bangunan-bangunan simbol kekuasaan (istana),
dan sebagainya). 3.Semua keputusan atau perintah dari raja(-raja) terdahulu
dari pihak telah dikalahkan akan diabaikan, dianggap tidak berlaku lagi, dan
harus dibuat ketetapan baru oleh penguasa baru dari pihak pemenang. 4.Tentunya
di masa silam semua pembesar kerajaan yang kalah akan dihukum mati, dibuang,
dipenjara, kecuali segera menyatakan sumpah setia kepada penguasa baru.
Agaknya postulat-postulat tersebut juga
terjadi dan diterapkan dalam konflik dan peperangan antarkerajaan pada masa
Jawa Kuno. Dengan demikian dapatlah dijelaskan bahwa prasasti-prasasti batu
yang dikeluarkan oleh seorang raja akan menjadi salah satu sasaran penghancuran
oleh raja pemenang jika saja terjadi peperangan. Sebab prasasti dapat dipandang
sebagai: a.Tanda kebesaran seorang raja yang berkuasa b.Prasasti adalah
perintah raja yang harus ditaati hingga akhir zaman (dlaha ning dlaha)
c.Prasasti menjadi bukti kekuasaan dan kewibawaan raja d.Prasasti sebagai
penanda wilayah yang dikuasai oleh seorang raja pembuat prasasti e.Prasasti
merupakan dokumen struktur kuasa sebab mencantumkan nama jabatan dan
pejabatnya. Dengan demikian dapatlah dipahami apabila banyak prasasti batu dari
masa Jawa Kuno yang sekarang telah aus aksara, bahwa keausan tersebut sangat
mungkin bukan karena perbuatan alam (lapuk karena panas dan hujan), melainkan
sengaja diauskan, dipupus atau digerus aksaranya sehingga tidak bisa dibaca
lagi. Siapakah yang melakukan pengggerusan aksara pada prasasti batu?, tentunya
adalah pihak pemenang yang tidak suka lagi kepada keputusan-keputusan atau
perintah raja atau dinasti raja yang dikalahkannya. Biasanya dalam
prasasti-prasasti juga dicantumkan sejumlah kutukan (sapatha) bagi siapa yang
berani melanggar perintah sang raja atau malah merusak batu prasasti tersebut.
Untuk memunahkan kesaktian kutukan maka aksara pada seluruh permukaan prasasti
harus lenyap semuanya, harus tandas dilincinkan. Jika demikian jadinya maka
batu prasasti itu menjadi batu yang kosong tanpa aksara dan tidak salah kiranya
apabila kemudian diduga sebagai batu calon prasasti.
Pemusnahan simbol kuasa raja tersebut agaknya
tidak cukup hanya dengan pengikisan aksara pada batu prasasti, malah banyak
prasasti yang kemudian dipecahkan menjadi dua bagian atau dipecahkan
berkeping-keping menjadi beberapa bagian. Banyak fragmen prasasti batu yang
ditemukan, menunjukkan bahwa batu prasastinya memang telah dipecahkan. Contoh
yang terkenal adanya Prasasti Arca Camundi yang dikeluarkan oleh Raja
Krtanagara. Mungkin karena begitu dahsyatnya kekuatan magis prasasti batu itu,
maka perlu diremukkan berkeping-keping oleh pihak yang membenci Krtanagara,
mungkin sekali atas perintah Jayakatwang yang menurut Mpu Prapanca dipandang
sebagai mitra drohaka. Selanjutnya perhatikan pernyataan kitab Sejarah Nasional
Indonesia II: Jaman Kuno (1984) ketika menjelaskan masa akhir Kerajaan Kadiri
sebagai berikut: “Prasasti terakhir raja Srengga yang sampai kepada kita ialah
Prasasti Lawadan tahun 1127 Śaka (18 Nopember 1205 M). Tetapi para sarjana
berpendapat bahwa Srěngga atau Kŗtajaya inilah raja Daha terakhir yang telah
dikalahkan oleh Ken Angrok pada tahun 1222. Kalau memang benar pendapat ini,
maka selama 17 tahun raja ini tidak mengeluarkan prasasti, atau kalaupun ada
juga prasasti-prasasti raja ini yang dikeluarkan antara tahun 1205 dan 1222 M,
prasasti ini belum ditemukan. Dan kalau benar pendapat itu maka raja ini telah
memerintah hampir 30 tahun lamanya, berbeda dengan raja-raja sebelumnya,
kecuali raja Bāmeśwara, yang rata-rata memerintah hanya 10 tahun saja. Tetapi
memang kenyataan bahwa selama 17 tahun tidak ada prasasti dari raja Srengga ini
patut dipertanyakan” (Sumadio 1984: 273). Pertanyaan di akhir kutipan tersebut
mungkin sudah dapat dijawab, bahwa memang selama 17 tahun seakan-akan tidak ada
prasasti yang dikeluarkan oleh raja Srengga, sebenarnya mungkin tidak demikian.
Prasasti-prasasti Raja Srěngga sejatinya telah dirusak atau dihancurkan oleh
pihak pemenang, dalam hal ini orang-orang Tumapel-Singhasari. Sang Dangdang
Gendis adalah raja yang kalah, maka semua prasastinya yang isinya “berbahaya”
dan tidak sejalan dengan kebijakan raja/kerajaan pemenang tentu harus
dimusnahkan, agar perintah raja yang kalah itu tidak perlu ditaati lagi.
Sebagaimana yang telah umum diketahui bahwa
dari masa Kadiri langka ditemukan bangunan suci atau candi-candi, dan pada
kenyataannya dari masa Kadiri banyak dihasilkan karya susastra yang bermutu,
misalnya Hariwangsa, Bharatayuddha, Gatotkacasraya, dan Smaradahana, Kelangkaan
bangunan suci dari era Kadiri tersebut bukan berarti masyarakat dan raja-raja
Kadiri tidak pernah membangun candi, melainkan bangunan suci masa Kadiri itu
dihancurkan secara sengaja oleh masyarakat zaman Singhasari. Candi-candi Kadiri
dapat dipandang sebagai simbol kemegahan kerajaan yang telah dikalahkan, oleh
karena itu harus dihancurkan pula. Orang-orang Singhasari kemudian mendirikan
bangunan candi-candi baru sesuai dengan petunjuk raja-rajanya sebagai bangunan
pendharmaan untuk memuja raja Singhasari yang telah mangkat dan diperdewa. Maka
candi-candi dari era Kerajaan Kadiri pun langka ditemukan orang hingga
sekarang, kalaupun ada bangunan candi itu sudah tidak lengkap lagi karena
sangat mungkin sengaja diruntuhkan agar kebesaran Kadiri tidak lagi diingat
oleh orang dari masa kemudian. Kemungkinan itu tentunya ada, dengan bercermin kepada
sejarah Bali zaman pertengahan, pada masa antara abad ke-16—19 di Bali banyak
berdiri kerajaan, antara lain Gelgel, yang hancur kemudian menjelma menjadi
Klungkung, Badung, Karangasem, Buleleng, Mengwi, Gianyar, Bangli, Tabanan, dan
Jembrana. Menurut berbagai sumber babad sejarah Bali telah terjadi banyak
peperangan antarkerajaan tersebut (Rai Mirsha 1986: 153). Misalnya peperangan
yang menyebabkan hancurnya Kerajaan Gelgel (Rai Putra 1991, 1995), perang yang
terjadi antara kerajaan Tabanan dan Mengwi (Gde Darta dkk. 1996), perang antara
Gianyar melawan Bangli, Klungkung, Badung dan Mengwi (Mahaudiana 1968), Mengwi
yang diperangi ramai-ramai oleh kerajaan-kerajaan lainnya hingga runtuh
(Nordholt, 1996), dan lainnya lagi. Akibat dari peperangan tersebut banyak pura
yang dihancurkan pada waktu peperangan berlangsung. Banyak arca dewa-dewi Hindu
yang juga pecah-pecah terpengal atau rusak, hal itu terjadi bukan karena lapuk
akibat kegiatan alam, melainkan arca-arca tersebut memang sengaja dibacok atau
dipenggal dengan senjata tajam, jejak-jejak pengrusakan tersebut masih nyata
terlihat pada beberapa arca yang disimpan dalam pura-pura tertentu. Demikianlah
bahwa pengrusakan terhadap simbol-simbol kerajaan yang kalah oleh pihak
kerajaan pemenang sudah menjadi suatu keniscayaan, dan itu memang layak
dilakukan untuk menunjukkan keunggulan pihak pemenang. Hal itu pula yang
kiranya terjadi dalam masa Jawa kuno, ketika pusat-pusat kerajaan telah
berkembang di wilayah Jawa Timur. Ketika peperangan kerapkali terjadi, maka
terjadi pula penghapusan pada simbol-simbol dan pembentukan simbol-simbol baru.
Dalam pertalian dengan berbagai peperangan yang terjadi itulah, maka banyak
prasasti batu dari pihak raja yang kalah akan dipupus secara sengaja oleh pihak
kerajaan pemenang.
.
BAB. V
Memang benar tidak semua prasasti batu dari
kerajaan yang kalah dihapus pahatan aksaranya oleh raja pemenang, buktinya
berita tentang zaman Airlangga, era Kerajaan Janggala, dan Kadiri masih ada
yang tidak dihancurkan walaupun upaya untuk mengapus aksaranya pernah
dilakukan. Prasasti-prasasti batu dari masa Kadiri umumnya telah rusak
permukaannya, sehingga sukar untuk dibaca lagi, banyak kata yang tidak mampu
diidentifikasikan lagi, karena upaya penghapusan atau pengrusakan pada
permukaan batu prasasti. Memang dijumpai adanya beberapa prasasti batu yang
meninggalkan jejak guratan kasar pada permukaannya, agaknya bentuk upaya untuk
menghapus aksara pada prasasti tersebut. Dalam pada itu terdapat pula
prasasti-prasasti batu yang ditemukan masih dapat dibaca dengan baik, walaupun
dari masa yang sangat jauh di belakang era peperangan antarkerajaan. Misalnya
beberapa prasasti dari raja Pu Sindok (abad ke-10) yang masih bertahan hingga
sekarang. Agaknya seorang raja yang dipandang berkharisma, prasasti-prasastinya
akan tetap ditaati sampai waktu yang lama. Demikianlah dapat kiranya diambil
beberapa catatan tentang pengrusakan secara sengaja terhadap prasasti-prasasti
batu: 1.Perusakan dilakukan oleh masyarakat masa lalu dari periode Hindu-Buddha
sendiri atau dari periode yang lebih kemudian di zaman perkembangan Islam.
Untuk hal terakhir ini tentunya memerlukan kajian tersendiri. 2.Agaknya
pemupusan aksara tidak dilakukan oleh masyarakat kerajaan pembuat prasasti
batu, sebab penegakkan batu prasasti harus melalui upacara sakral dan dianggap
disaksikan oleh para dewa. Perintah raja yang dipahatkan dalam bentuk aksara
tersebut setara dengan perintah dewa, sebab raja adalah penjelmaan dewa ke
dunia.
3.Dirusak atas perintah penguasa/raja
pemenang, yang tidak suka atas isi perintah dalam prasasti raja yang
dikalahkan, isi dipandang tidak sesuai dengan keadaan zaman yang kemudian,
prasasti dirusak agar keputusan-keputusan raja terdahulu tidak lagi harus
dipatuhi oleh masyarakat yang kemudian.
Pada akhirnya dapat dinyatakan bahwa
kepentingan politik dari kerajaan-kerajaan masa Hindu-Buddha lebih nyata
tampil, ketimbang kepentingan-kepentingan keagamaan. Walaupun kedua kerajaan
yang berselisih sama-sama mengembangkan dan bercorak agama Hindu-Buddha, namun
isi prasastinya berbeda. Padahal pembuatan prasasti itu disaksikan oleh para
dewa yang sama dan juga menyatakan kutukan yang sama, pengrusakan tetap
dilakukan. Dalam hal pengrusakan bangunan suci keagamaan agaknya dapat mengacu
kepada sejarah Bali zaman Madya, walaupun mereka membangun pura yang sama,
arca-arca dewa yang sama, dan prinsip keagamaan yang sama, yaitu Hindu; tetap
saja pengrusakan dilakukan oleh pihak yang menang, karena semua bangunan suci
itu dipandang sebagai simbol dari kerajaan yang dikalahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Atja, 1968. Tjarita Parahijangan: Naskah
Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka-16 Masehi. Bandung: Jajasan Kebudajaan
Nusalarang.
Boechari, 1968. “Sri Maharaja Mapanji
Garasakan: A New Evidence on the Problem of Airlangga’s Partition of His
Kingdom”, Madjalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia. V (1): 119—125.
Coedes, George, 2010. Asia Tenggara Masa
Hindu-Buddha. Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Winarsih Partaningrat
Arifin. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional, dll.
Gde Darta, A.A; A.A.Gde Geriya dan A.A.Gde
Alit Geria, 1996. Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan Terjemahan ke Dalam
Bahasa Indonesia. Denpasar: Upada Sastra.
Hardjowardojo, R.Pitono. 1965. Pararaton.
Djakarta: Bhratara.
De Casparis, J.G.de, 1956. Selected
Inscription from 7th to the 9th Century AD: Prasasti Indonesia II. Bandung:
Masa Baru.
----------------------, 1995—1996.“Beberapa
tokoh Besar Dalam Sejarah Asia Tenggara dari Kira-kira 1000—1400 M”, dalam
Amerta: Berkala Arkeologi No.16. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Halaman 38—46.
Krom, N.J., 1954. Zaman Hindu. Terjemahan ke
dalam Bahasa Indonesia oleh Arif Effendi. Djakarta: PT.Pembangunan.
Mahaudiana, 1968. Babad Manggis Gianjar.
Gianjar: A.A.Gde Thaman.
Nordholt, H.Schulte, 1996. The Spell of Power:
A History of Balinese Politics 1650—1940. Leiden: KITLV Press.
Rai Mirsha, I Gusti Ngurah (Ketua Tim), 1986.
Sejarah Bali. Proyek Penyusunan Sejarah Bali, Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
Suhadi, Machi & Richadiana K., 1996. Laporan
Penelitian Epigrafi di Wilayah Provinsi Jawa Timur. Berita Penelitian
Arkeologi. No.47. Jakarta: Pusat Penelitian arkeologi Nasional.
Sumadio, Bambang (Editor Jilid), 1984. Sejarah
Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.
Susanti, Ninie, 2010. Airlangga, Biografi Raja
Pembaru Jawa Abad XI. Jakarta: Komunitas Bambu.
Rai Putra, I.B., 1991. Babad Arya
Kutawaringin. Denpasar: Upada Sastra.
----------------, 1995. Babad Dalem. Denpasar:
Upada Sastra
No comments:
Post a Comment