Halaman

5/08/2014

AKSARA YANG HILANG PADA PRASASTI BATU: Terpupus atau Dipupus?

Oleh : Prof.Dr.Agus Aris Munandar

Patung Ken Dedes sebagai Prajna Paramita
BAB. I 
Masa Jawa Kuno banyak menghasilkan prasasti batu (gopala prasasti) ataupun perunggu (tamra prasasti), prasasti-prasasti tersebut pada umumnya adalah perintah raja yang kemudian dituliskan pada bahan yang awet, sehingga perintah sang raja tidak mudah hilang bersama berlalunya waktu. Prasasti batu ketika pertama dijumpai umumnya diletakkan di tempat-tempat tertentu di tengah hutan, persawahan, lereng gunung, ataupun juga permukiman. Tidaklah diketahui secara pasti, apakah pada awalnya ketika prasasti batu itu pertama kali ditegakkan dan diresmikan dinaungi dengan bangunan permanen. Lain halnya dengan prasasti perunggu yang mudah disimpan dan secara teoritis tidak mudah rusak atau aus hurufnya karena senantiasa dipelihara dan dirawat baik oleh para pemegang prasasti dan anak keturunannya, oleh karena itu banyak prasasti tembaga yang ditemukan masih dalam keadaan relatif baik, hurufnya masih jelas dan mudah terbaca. Prasasti-prasasti batu bernasib tidak seberuntung prasasti tembaga, telah umum diketahui bahwa banyak prasasti batu yang bertahan hingga kini hurufnya tidak terbaca lagi, walaupun batu prasasti itu masih utuh. 

Ada pula prasasti batu yang terpenggal menjadi beberapa bagian, dan bahkan ada pula yang pecah berkeping-keping. Kajian singkat ini berupaya untuk mengungkapkan beberapa kemungkinan terjadinya kerusakan pada prasasti-prasasti batu. Data kajian dipergunakan adalah prasasti-prasasti batu yang ditemukan di wilayah Jawa bagian timur, yang ditemukan di wilayah Lamongan, Jombang, Kediri, Blitar, dan Tulungagung. Sebenarnya ahli epigrafi Indonesia yang terkenal Boechari dalam tahun 1980-an telah menyatakan --walaupun mungkin hanya sebagai asumsi awal-- bahwa ada prasasti di wilayah Jawa Tengah yang agaknya sengaja dirusak oleh masyarakat sezamannya. Boechari menyatakan hal itu berkenaan dengan ditemukannya Prasasti Pereng (856 M) di bukit Ratu Baka yang pecah berkeping seakan disengaja untuk diremukkan. Demikianlah telaah ringkas ini sejatinya hendak melanjutkan hipotesa Boechari yang menyatakan bahwa ada kemungkinan prasasti-prasasti batu ada yang dirusak.
.
BAB II
Di wilayah Jawa Timur cukup banyak prasasti batu yang aksaranya tidak jelas lagi, aksara pada prasasti-prasasti tersebut tidak bisa dibaca lagi, karena sangat tipis di permukaan batu. Menilik bahan batunya, sangat tidak mungkin jika aksara pada prasasti tersebut rusak tergerus oleh hujan dan panas, karena bahan batu sangat kuat (andesit) dan bukan batu kapur yang lunak. Berdasarkan uraian Laporan Penelitian Epigrafi di wilayah Propinsi Jawa Timur, Berita Penelitian Arkeologi No.47 (1996), dapat diketahui sejumlah prasasti yang dicatat sebagai prasasti yang hurufnya rusak, aus, dan tidak terbaca lagi. Seperti laporan tentang satu prasasti yang baru ditemukan, dinyatakan bahwa,
“Di Desa Bulugledeg, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan juga ditemukan prasasti baru. Karena aus dan rusak maka bagian yang berangka tahun dan nama raja sudah tidak terbaca. Hanya bentuk tulisan dan nama pejabat yang masih terbaca, yaitu ‘…mahamantri i sirikan mpu…’ , dapat menunjukkan bahwa titah raja ini berasal dari jaman Kadiri (1042-1222 M)” (Suhadi & Richadiana K. 1996: 3). Dilaporkan pula di wilayah Kabupaten Blitar, di Dukuh Besole, Desa Darungan, Kecamatan Suruwadag terdapat prasasti batu (dinamakan Prasasti Besole) yang berukuran tinggi 157 cm dan lebar terlebar 83 cm. Hurufnya dilaporkan sangat aus, namun dari sisa huruf yang ada dapat diketahui beraksara Jawa Kuno. Di sisi depan prasasti dipahatkan candrakapala lancana dan angka tahun 1054/1051 Śaka, pada sisi verso masih terbaca aksara yang berbunyi “rumaksa praja” dan “cakrawartin”. Prasasti ini diduga dipahatkan atas titah raja Bāmeśwara dari Kadiri yang diperkirakan memerintah antara tahun 1038—1056 Śaka. Hal yang menarik adalah penduduk dukuh setempat mempunyai kebiasaan yang dilakukan setiap tahun untuk mengapur permukaan prasasti, sehingga huruf-hurufnya ada yang tertutup oleh lapisan kapur tebal, selain memang sudah sangat tipis karena aus (Suhadi & Richadiana 1996: 24). Prasasti lainnya dari Blitar yang baru ditemukan dan belum pernah diterbitkan adalah Prasasti Pagiliran. Batu prasasti ditemukan di lahan kebun di Dukuh Karangturi, Desa Jajar, Kecamatan Talun, keadaannya sangat tidak lengkap, batunya telah rumpang, dan penduduk menambahinya dengan semen. Berdasarkan sisa aksara yang ada, dapat diketahui bahwa uraian prasasti dipahatkan di keempat sisi batu. Pada bagian recto batu dipahatkan bentuk candrakapalalancana, angka tahun 1056 Śaka, dan nama raja yang terpotong “…janiwaryyawiryya parakrama digwijayot-tunggadewa…” dan nama thani Pagiliran (Suhadi & Richadiana 1996: 25) Di Dukuh Rejowinangun, di depan masjid Desa Plosorejo, Kecamatan Kademangan, Blitar terdapat juga bentuk batu prasasti yang telah aus hurufnya. Di sisi recto di bagian puncak prasasti terdapat lingkaran yang juga sudah tidak ada pahatannya lagi, mungkin dahulu dipahatkan lanchana dari raja yang mengeluarkannya. Hal yang menarik di bagian tengah ditempelkan “prasasti baru” berbentuk batu pipih perihal peresmian pembangunan masjid, tidak ada data lama atau uraian dari prasasti lainnya yang masih dapat dibaca.
Prasasti batu yang hurufnya sangat tipis (aus) sehingga cenderung dapat dikatakan hilang misalnya Prasasti Makam Soka di Tulungagung. Prasasti batu tersebut masih berdiri utuh, namun hurufnya sama sekali tidak tersisa lagi, ada memang jejak bekas huruf, namun sangat tipis menyatakan angka tahun 1123 Śaka/1201 M. Di bagian puncak batu prasasti terdapat pahatan lingkaran yang di tengahnya terdapat bentuk persegi ganda berulang dan berakhir spiral memusat. Di sekitar prasasti terdapat pemakaman desa dan artefak kuno lainnya, seperti batu-batu umpak, balok batu dan lumpang. Pada bulan Oktober 2012 yang lalu tim dari Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI) mengadakan survey di wilayah Lamongan. Survey tersebut berlangsung berkat kerja sama dengan Pemerintah Daerah Lamongan, diadakan selama beberapa hari di wilayah Lamongan Selatan. Tim berhasil melakukan pendataan bermacam situs dan tinggalan arkeologi yang tersebar di beberapa kecamatan. Hal yang menarik adalah ditemukannya prasasti-prasasti batu yang agaknya masih in-situ atau pun telah bergeser dari tempat awalnya. Berdasarkan pengamatan langsung dapat diketahui bahwa banyak prasasti permukaan batunya telah licin tanpa aksara, ada pula yang pecah, dan hanya tersisa sepotong pecahan batunya saja. Misalnya saja Prasasti Sedah yang terdapat di Dusun Sedah, Desa Pule, Kecamatan Modo, dan Prasasti Titing yang terletak di hutan jati, Dukuh Titing, Desa Sendang Rejo, Kecamatan Ngimbang, Lamongan.
Prasasti Sedah sekarang dalam posisi berdiri, di dekatnya terdapat batu umpak yang telah lapuk, sekarang kedua benda kuno itu telah dinaungi cungkup. Ukuran batu prasasti, tinggi tertinggi hingga puncak lancipan 152 cm, lebar terlebar 93 cm, tebal batu 27 cm. Semua aksara yang ada di permukaan batu telah tiada, aus di sana-sini, hanya tersisa beberapa aksara Jawa kuno saja. Di bagian puncak prasasti terdapat lingkaran, pastinya dahulu ada pahatan lanchana tertentu, namun sekarang telah rata saja, tanpa sisa pahatan apapun. Sekitar 200 m di arah barat dari Prasasti Sedah, didapatkan kepurbakalaan dari balok-balok batu dan juga dari pecahan batu alami. Penduduk setempat menyebutnya dengan Punden Sentonorejo. Menilik sepintas bentuk inti punden, maka segera dapat ditafsirkan sebagai suatu bentuk kijing dari makam Islam kuno. Setelah dilakukan pengamatan dengan temuan-temuan lain di sekitarnya, yaitu fragmen relief, pecahan-pecahan batu pipisan, lapisan pagar keliling dan juga susunan 2 tahta batu kecil (mirip kursi dan sandarannya yang menempel di muka tanah), maka dapat ditafsirkan bahwa punden Sentonorejo merupakan altar persajian yang memanjang. Kronologi relatif yang dapat ditafsirkan mungkin berasal dari era Majapahit akhir. Prasasti Titing ditemukan di tengah tanah hutan jati, dalam keadaan berdiri, bahan batu putih, telah dinaungi cungkup pula. Ukuran tinggi dari muka tanah 150 cm, lebar terlebar 75 cm, dan tebal batu 27 cm. Sama keadaannya dengan Prasasti Sedah, seluruh permukaan prasasti ini pun telah aus, bahkan tanpa aksara yang tersisa. Di bagian verso batu prasasti, pada bagian bawahnya terdapat pahatan sepasang garis sejajar yang masih kentara, mungkin dahulu dimaksudkan sebagai akhir dari uraian prasasti. Prasasti lainnya yang keadaan hurufnya sudah sangat aus adalah Prasasti Gurit, prasasti batu tersebut terdapat di Desa Druju Gurit, Kecamatan Ngimbang. Bahan batu andesit yang relatif lebih kuat dari batu putih, namun sama seluruh aksaranya telah tiada. Ukuran batu prasasti tinggi tertinggi 172 cm, lebar terlebar 121 cm, dan tebal batu 45 cm. Sisa baris kalimat pada prasasti itu pada sisi recto dan verso sama, yaitu 26 baris. Di arah selatan batu prasasti terdapat sendang kuno yang di sekitarnya ditemukan fragmen benda-benda terakota lama, dan juga fragmen keramik Cina kuno. Prasasti yang hurufnya telah tiada adalah juga Prasasti Tugu yang terletak di Desa Tugu, Kecamatan Mantup, Lamongan. Prasasti ini hanya tersisa batunya saja, dengan puncak lancip segitiga, tanpa aksara lagi, dibiarkan terbuka tanpa pelindung (cungkup) di dekat kuburan kuno sebagai punden Desa Tugu. Penduduk desa setempat menyatakan bahwa batu pipih tersebut adalah prasasti wurung (prasasti batal) atau calon batu prasasti.
Dalam pada itu terdapat 2 prasasti batu yang selain permukaannya telah licin tanpa aksara juga pecah terbelah menjadi dua bagian, yaitu Prasasti Sumbersari 1 dan 2. Prasasti Sumbersari 1 telah pecah terpotong menjadi dua bagian, namun masih bisa disatukan dan agaknya masih berdiri di situsnya. Prasasti tersebut sekarang dinaungi oleh cungkup tanpa dinding dan bagian bawahnya berlantai semen. Permukaan prasasti telah halus, tanpa aksara lagi, tidak menyisakan bentuk huruf apapun. Ukuran batu prasasti, tinggi 144 cm, lebar terlebar 79 cm, tebal 30 cm. Sama dengan Prasasti Sumbersari 1, Prasasti Sumbersari 2 pun terletak di Dusun Sempur, Desa Sumbersari, Kecamatan Sambeng, Lamongan. Prasasti ini telah terpotong menjadi dua bagian, bagian puncak telah hilang, yang tersisa sekarang hanyalah bagian bawah prasasti, bahan dari batu putih. Ukuran dari batu yang tersisa sekarang adalah tinggi 80 cm, lebar terlebar bagian bawah 60 cm, tebal 24 cm. Berdasarkan pengamatan langsung terhadap batu prasastinya, dapat diketahui bahwa aksara pada permukaan batu prasasti ini pun telah tiada, tidak berbekas sama sekali. Prasasti Sumbersari 1 dan 2 kerusakannya ganda, yaitu batu prasasti pecah menjadi dua bagian dan seluruh aksaranya tidak ada lagi. Berikutnya Prasasti Brumbun dari batu andesit yang berlokasi di Dusun Brumbun, Desa Lamongrejo, Kecamatan Ngimbang. Ukuran batu prasasti, tinggi 210 cm, lebar 90 cm, tebal 22 cm. Kondisi sekarang telah tergeletak di tanah kebun milik penduduk setempat, sangat mungkin dahulu posisi asli prasasti ini berdiri sebagaimana prasasti lainnya, karena pada bagian bawah prasasti terdapat bagian batu yang menonjol (sekitar 60 cm) untuk ditancapkan di permukaan tanah atau lapik. Prasasti batu Mendugo belum ditampilkan secara utuh, karena sebagian terpendam masih tanah, Prasasti ini tertancap di sebuah akar pohon, dengan kondisi pohon menjepit badan prasasti, hanya bagian tas ujung prasasti yang terlihat dengan posisi miring. Jejak tulisan pada prasasti ini juga sangat sulit dikenali mengingat kondisinya berlumut dan sangat aus, ditambah medan yang sangat sulit. Lokasi di Desa Mendugo, Kecamatan Ngimbang, ukuran prasasti baik lebar, maupun tinggi, belum diketahui secara pasti karena posisinya tertanam dalam tanah. Hanya ketebalan saja yang dapat diukur, yaitu sekitar 20 cm.
Di Dusun Wide, Desa Sendangharjo, Kecamatan Brondong di Lamongan utara, ditemukan prasasti batu. Prasasti Wide merupakan satu-satunya prasasti yang ada di daerah dekat pantai, sekitar 3 km dari Bandar Sedayu Lawas yang terkenal dalam periode akhir Majapahit. Prasasti ini sudah sangat aus dan bahkan sangat halus sehingga tidak diketahui lagi jejak tulisannya, kondisinya juga patah terbagi dua. Masing-masing bagian tertancap di tanah dan disemen dengan kuat lantai pasar desa. Batu prasasti berwarna kuning yang cukup keras dan biasa ditemukan di daerah pantai Sedayu. Lebar terlebar dari prasasti ini adalah 110 cm, tebal 18 cm, tinggi fragmen batu prasasti bagian bawah 65 cm dan bagian atas 45 cm dari permukaan lantai semen sekarang. Sangat mungkin dahulu merupakan prasasti yang relatif besar, namun karena terpecah dua dan telah ditanam di tanah maka ukuran total dari tingginya tidak dapat diketahui lagi secara pasti. Belum pernah ada kajian terhadap prasasti ini, karena mungkin sudah tidak mengandung data lagi akibat aksaranya yang telah hilang. Pada akhirnya harus disebutkan adanya dua prasasti batu berbentuk pipih dengan puncak kurawal di Depan Masjid Agung Lamongan. Informasi tentang dua prasasti batu tersebut telah dicantumkan dalam Berita Penelitian Arkeologi No.47 (1996) sebagai berikut: “Di halaman masjid besar di Kota Lamongan ada dua batu berbentuk prasasti yang diletakkan di halaman masjid dekat pintu gerbang. Masing-masing batu ditegakkan mengapit pintu gerbang, jarak antara keduanya sekitar 10 m dan didirikan tegak di atas landasan semen dengan kedua sisi batu menghadap arah utara-selatan. Bahan batunya dari kapur [sic!] yang agaknya berasal dari pantai karena ada fosil kerang laut melekat pada batu ini. Potongan batunya sama seperti bentuk prasasti jaman Airlangga. Keadaan permukaan batu sangat aus dan tidak tampak sisa-sisa tulisannya, rupanya batu ini masih berupa calon prasasti. Ukuran batu sebelah kiri ialah: tinggi 116 cm, lebar 94 cm, dan tebal 9 cm. Batu yang sebelah kanan (selatan) berukuran 112 x 100 x 23 cm” (Suhadi & Richadiana K. 1996: 41). Agaknya kedua batu prasasti tersebut berasal dari suatu tempat di wilayah Lamongan, dan kemudian dipindahkan ke halaman masjid besar di Lamongan setelah zaman yang lebih kemudian. Pengamatan ulang yang dilakukan oleh tim survey arkeologi FIB UI terhadap kedua batu prasasti tersebut, menyimpulkan memang tidak ada tanda-tanda aksara lagi di batu tersebut, permukaannya halus dan licin saja tanpa sisa goresan bekas huruf.
Demikianlah beberapa prasasti batu yang keadaan tulisannya telah banyak yang rusak, aus, bahkan terpenggal menjadi beberapa bagian. Hal yang cukup menarik untuk dibahas lebih lanjut adalah sebab-sebab terjadinya kerusakan aksara pada permukaan prasasti. Apakah benar prasasti-prasasti itu aksara hilang karena batunya lapuk dan usang?, Apakah alam begitu berpengaruh sehingga merusakkan aksara yang dipahatkan pada batu-batu prasasti yang relatif keras?, jika benar akibat kerusakan alam, maka mengapa seluruh aksara pada prasasti lenyap dari permukaan batu?, jika benar demikian tentunya memerlukan proses panjang yang menyeluruh terhadap keseluruhan permukaan batu. Penjelasan lainnya perihal hilangnya aksara pada prasasti-prasasti batu itu adalah karena batu-batu itu barulah calon prasasti yang akan dipahati dengan tulisan, jadi belum menjadi prasasti sebenarnyanya. Jika benar hipotesa tersebut maka menyusul pertanyaan berikut, mengapa banyak sekali batu calon prasasti, agaknya raja-raja kemudian tidak jadi memerintahkan untuk menuliskan prasasti, jadi batu-batunya terbengkalai. Logikanya penulisan prasasti biasa terjadi jika sudah ada kepastian perintah dari raja, sehingga perintah itu diabadikan, bukan sebaliknya materialnya dahulu yang dipersiapkan, tanpa perintah dari raja, jadi hipotesis itu pun agak lemah sifatnya.
.
BAB. III
Peperangan dan konflik antarkerajaan sebenarnya telah menjadi bagian uraian dari sejarah kuno Indonesia, terutama di Tanah Jawa. Uraian tentang peperangan yang mengesankan terdapat dalam Carita Parahyangan, disebutkan bahwa Raja Sanjaya anak dari Raja Sannaha dalam masa Mataram Kuno melakukan berbagai peperangan untuk memperluas kekuasaannya di Tanah Jawa bahkan hingga hingga luar Jawa (Atja, 1968). Konflik lainnya yang tercatat dalam prasasti antara lain terjadi pada pertengahan abad ke-9, menurut tafsiran J.G.de Casparis telah terjadi pertempuran dahsyat di perbukitan Ratu Baka, antara pihak Balaputra dengan Rakai Pikatan sebagaimana yang dapat ditafsirkan dari Prasasti Siwagrha tahun 856 M (De Casparis, 1956). Peristiwa peperangan justru semakin kerapkali terjadi ketika pusat kekuasaan kerajaan telah berpindah di wilayah Jawa bagian timur. Beberapa peperangan yang dapat dicatat adalah sebagai berikut: 1.Peperangan yang terjadi dalam abad ke-11 M, ketika kerajaan Dharmmawangsa Tguh diserang dengan tiba-tiba oleh tentara Wurawari yang datang dari Lwaram.
2.Peperangan yang dilakukan oleh raja Airlangga terhadap beberapa kerajaan yang tidak mengakui kekuasaannya (Susanti 2010: 4). Bahkan ketika tinggal di hutan para pendeta berharap agar Airlangga dapat memperoleh pohon kalpataru yang mengabulkan keinginan untuk melindungi dunia, memperbaiki semua bangunan suci dan menghancurkan kekuatan jahat di dunia (Soemadio 1984: 176). 3.Peperangan antara Janggala dan Panjalu setelah Airlangga membagi kerajaannya dengan bantuan Aryya Bharadah 4.Pertempuran antara Kadiri dan Tumapel yang berlangsung tahun 1222 di utara Desa Ganter, demikian menurut kitab Pararaton. 5.Penyerbuan tentara Jayakatwang dari Gelang-gelang terhadap Kutharaja Singhasari sehingga raja terakhir Singhasari, yaitu Krtanagara tewas di istananya. 6.Peperangan mengalahkan raja Jawa Jayakatwang yang berkedudukan di Kadiri antara bala tentara Kubhilai Khan yang dibantu oleh pasukan-pasukan orang Majapahit yang dipimpin oleh Raden Wijaya. Perang Paregreg (1403—1406), merupakan perang saudara di Majapahit memperebutkan tahta kerajaan. Peperangan ini yang menjadi awal kemerosotan Majapahit hingga akhirnya runtuh sama sekali di awal abad ke-16 M. Setelah Paregreg sebenarnya terjadi lagi beberapa peperangan di Majapahit, intinya memperebutkan kekuasaan tertinggi di Jawa bagian timur. Konflik itu terjadi di antara sesama dinasti Rajasa sendiri. Di antara banyak peperangan tersebut, terdapat peperangan yang berakibat kepada berubahnya sejarah dinasti-dinasti raja di Jawa, yaitu (1) konflik panjang antara Janggala-Panjalu dan (2) pertempuran antara Krtajaya (Dangdang Gendis) dari Kadiri melawan Ken Angrok dari Tumapel. Peperangan yang berlangsung dalam zaman Airlangga sewaktu ia menegakkan kerajaan warisan Dharmmawangsa Tguh, dan disusul dengan perselisihan antara Janggala-Panjalu merupakan pertanda berdirinya era baru, yaitu masa Kerajaan Kadiri yang senantiasa mengacu kepada Raja Airlangga. Hal itu dapat diketahui dengan adanya penggunaan Garudamukhalanchana pada beberapa prasasti raja-raja Kadiri. Lanchana yang sama awalnya diperkenalkan oleh Airlangga pada prasasti-prasastinya.
Konflik kedua yang melahirkan dinasti baru adalah antara Ken Angrok sang wangsakara dinasti Rajasa mengalahkan Srěngga Kŗtajaya raja Kadiri, tahun 1222 M. Dengan dikalahkannya Kadiri, maka secara politik kekuasan dinasti Iśana berakhir, berganti dengan zaman Singhasari-Majapahit yang diperintah oleh raja-raja keluarga Rajaśa. Sebagaimana telah diketahui bahwa setelah Airlangga membagi dua kerajaannya menjadi Janggala dan Panjalu, kemudian terjadi konflik di antara keduanya. Berdasarkan uraian Prasasti Turun Hyang B (diperkirakan tahun 966 Śaka/1044 M, disebutkan bahwa raja Mapanji Garasakan yang memberikan hadiah kepada penduduk Turun Hyang sebab mereka telah membantu sang raja ketika perang memisahkan diri dari Haji Panjalu. Raja Garasakan masih mengeluarkan prasasti Malenga 974 Śaka/ 1052 M, isinya antara lain memberitakan bahwa ia berhasil mengusir raja musuhnya, yaitu Linggajaya dari istananya di daerah Tanjung. Agaknya telah terjadi peperangan antara Janggala dan Panjalu, Raja Mapanji Garasakan dari Janggala kemudian memisahkan kerajaannya dari Panjalu. Raja-raja lain yang memerintah di Janggala setelah Mapanji Garasakan ialah Śrî Samarotsaha yang mengeluarkan prasasti Sumengka tahun 981 Śaka/1059 M, Boechari menyatakan bahwa Samarotsaha hanyalah menantu Mapanji Garasakan, jadi tidak berhak atas tahta kerajaan (Boechari 1968), sebab muncul raja Mapanji Alanjung Ahyes Makoputadanu yang mengeluarkan Prasasti Banjaran tahun 974 Śaka (1052 M). Agaknya Alanjung Ahyes memerangi Samarotsaha dan Janggala dengan bantuan raja bawahan dari Banjaran (Sumadio 1984: 259--60). Maka dari itu Janggala mempunyai dua raja yang masing-masing mengaku mempunyai hubungan dengan Airlangga sebab prasasti-prasasti keduanya menggunakan lambang Garudamukha. Selanjutnya perihal Kerajaan Janggala tidak ada beritanya, sumber-sumber sejarah sampai sekarang masih bungkam belum ada penjelasan perihal nasib Janggala dalam era berikutnya. Kemudian muncullah Kerajaan Panjalu atau Kadiri yang beribukota di Daha dalam sejarah kuno di Jawa Timur. Raja yang memerintah di Kadiri ialah : 1.Śrî Bāmeśwara (1117—1135 M), merupakan raja pertama yang mengaku sebagai penguasa Kadiri dan mendapat pengakuan dari Cina (Coedes 2010: 233). 2.Śrî Warmmeśwara Maduhusudanawataranindita alias Jayabhaya yang memerintah antara tahun 1135—1159 M, 3.Śrî Sarwweśwara memerintah antara tahun 1159 sampai tahun 1169 M, Śrî Aryyeśwara, memerintah dari tahun 1091 Śaka/1169 M (angka tahun dalam Prasasti Desa Weleri, Blitar) sampai tahun 1093 Śaka/1171 M (angka tahun dalam Prasasti Angin), 5.Śrî Kroñcaryyādipa (Śrî Gandra), satu-satunya sumber tertulis dari raja ini yang sampai pada masa sekarang Prasasti Jaring yang berangka tahun 1103 Śaka/1181 M. 6.Śrî Kameśwara sangat mungkin memerintah antara tahun 1182 M sampai tahun 1185 M (angka tahun yang tercantum dalam Prasasti Ceker). 7.Kŗtajaya alias Srěngga, namanya telah tercantum dalam uraian Prasasti Sapu Angin yang bertitimangsa 1190 Śaka/1191 M, kemudian menyusul prasasti yang ditemukan dari Desa Kemulan, Trenggalek berangka tahun 1194 M. Nama lengkap dalam prasasti tersebut adalah Śrî Mahārāja Śrî Sarwweśwara Triwikramawatarānindita Srěnggalañchana Digjayottunggadewa-nama. Prasasti termuda dari raja ini yang bertahan sampai sekarang adalah Prasasti Lawadan berkronologi 1127 Śaka/1205 M. Raja tersebut disamakan dengan Dangdang Gendis raja dari Kadiri yang dikalahkan oleh Ken Angrok tahun 1222 (Sumadio 1984: 265—73).
Beberapa prasasti dari raja-raja Kadiri tersebut senantiasa memberitakan adanya peperangan, dan penduduk desa-desa meminta anugerah raja karena dalam peperangan mereka membantu memenangkan sang raja. Dalam Prasasti Padlegan dari Raja Bāmeśwara disebutkan bahwa rakyat Desa Padlegan (1117 M) mendapat anugerah sima dari raja. Mereka telah membantu sepenuhnya sang raja dalam peperangan dan bahkan menjadi pasukan pelindung raja (Sumadio 1984: 266). Hanya saja tidak disebutkan siapa musuh Bāmeśwara dalam peperangan tersebut, hal yang pasti telah terjadi peperangan dalam masa pemerintahannya. Raja Jayabhaya dalam Prasasti Hantang (1057 Śaka/1135 M) juga menyebutkan perihal kemenangan perang, bahkan pada bagian paling atas batu prasasti dituliskan dengan huruf besar-besar dengan huruf kwadrat kalimat “Pangjalu Jayati” (=Panjalu Menang). Prasasti ini berisikan pemberian anugerah kepada warga Desa Hantang dan 12 desa lainnya karena telah membantu raja dalam peperangan perebutan tahta, dan musuh tersebut berhasil dikalahkan (Sumadio 1984: 268). Dalam masa pemerintahan Jayabhaya pula digubah kitab Mahabharata oleh Mpu Sedah dan Panuluh yang berisikan kisah peperangan demi peperangan, dapat ditafsirkan bahwa sang raja telah mengalami banyak peperangan (Coedes 2010: 233). Dalam satu-satunya prasasti raja Śrî Kroñcaryyādipa, yaitu Prasasti Jaring (1103 Śaka/1181 M) disebutkan juga perihal anugerah kepada penduduk Desa Jaring dan sekitarnya, yaitu pembebasan membayar pajak karena mereka telah memperlihatkan kesetiaannya kepada raja, dengan mempertaruhan jiwa raganya memerangi musuh raja (Sumadio 1984: 270—71). Dengan demikian selama masa berdirinya Kerajaan Kadiri telah terjadi berbagai peperangan yang kemudian diperingati dalam prasasti-prasasti dan diberikan berbagai anugerah kepada desa-desa yang penduduknya telah membantu pihak raja. Dalam pada itu menurut Kitab Pararaton dinyatakan bahwa banyak para pendeta-brahmana dari Kadiri yang mengungsi dan meminta perlindungan Ken Angrok di Tumapel. Hal itu terjadi karena raja Kadiri yang bernama Dangdang Gendis (Kŗtajaya/Srengga) meminta para Brahmana itu menyembah dirinya, ia mampu memperlihatkan dirinya sebagai Bhattara Guru (Śiwa) yang duduk bersila di ujung tombak yang didirikan. Para pendeta-brahmana tetap tidak mau menyembah sang raja, karena sejak zaman kuno tidak ada pendeta yang menyembah raja (Hardjowardojo 1965: 29—30). Selanjutnya kitab Pararaton menyatakan: “Lama2 terdengar berita bahwa Ken Angrok sudah jadi raja dihaturkan kepada radja Dangdang Gendis bahwa sang Amurwabhumi bermaksud akan melawan Daha. Berkata Dangdang Gendis: “Siapa jang dapat mengalahkan keradjaan ini, mungkin kalah kalau bhatara Guru sendiri turun dari langit”. Dihaturkan kepada Ken Angrok bahwa radja Dangdang Gendis berkata demikian. Berkatalah sang Amurwabhumi: “Hai para pendeta Çiwa-Buddha semuanja, idjinkanlah saja memakai nama bhatara Guru”. Demikianlah asal mulanja dia bernama bhatara Guru, ditahbiskan oleh para pendeta. Lalu ia pergi memerangi Daha. Terdengar oleh radja Dangdang Gendis bahwa sang Amurwabhumi di Tumapel datang menjerbu Daha. Berkatalah Dangdang Gendis: “Saja akan kalah karena Ken Angrok dilindungi dewa2”. Demikianlah pasukan Tumapel bertemu dengan pasukan Daha, berperang di sebelah utara Ganter, bertempur sama beraninja, saling kalah mengalahkan, terdesaklah pasukan Daha. Adik Dangdang Gendis, seorang ksatrya bernama Raden Mahisa Walungan mati setjara ksatrya dengan seorang menterinja bernama Gubar Baleman, adik Dangdang Gendis dan Gubar Baleman keduanja dikepung oleh tentara Tumapel tetapi mereka bertempur dengan gagah berani. Maka larilah tentara Daha karena pemimpinja sudah meninggal. Maka pasukan daha bertjerai-berai seperti lebah jang dipukul sarangnja, tak ada jang kembali. Maka Dangdang Gendis mundur dari medan perang, mengungsi ketempat perdewaan bersama2 dengan kudanja, hambanja membawa pajung, beserta pembawa tempat sirih, tempat air, pembawa tikar lenjap di udara. … Demikianlah Ken Angrok mengalahkan musuh; pulamg ke Tumapel, pulau Djawa dikuasainja. Tahun dia mendjadi raja dan kalahnya Daha adalah tahun Çaka 1144” (Hardjowardojo 1965: 30). Uraian Pararaton sangat jelas memerikan pertempuran antara Tumapel dan Daha, memang pertempuran tersebut tidak pernah disebutkan dalam prasasti manapun, namun berita tersebut telah dipercaya oleh para ahli sejarah kuno Indonesia bahwa memang benar pernah terjadi (Krom 1954: 171; Soemadio 1984: 399; Coedes 2010: 255). Akibat kekalahan Kadiri (Daha), maka berkembanglah pusat kekuasaan baru di Jawa Timur, yaitu Singhasari yang diperintah oleh para raja keturunan Ken Angrok. Walaupun dalam tahun 1292 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Jayakatwang salah seorang keturunan keluarga raja Kadiri terhadap raja terkahir Singhasari, yaitu Krtanagara, namun tampilnya kekuatan Kadiri tersebut hanya singkat saja selama beberapa bulan, sebab pada tahun 1293 Majapahit telah berdiri. Sebagaimana diketahui Majapahit didirikan oleh Krtarajasa Jayawarddhana (Raden Wijaya) yang merupakan anggota dinasti Rajasa pula. Raja-raja Majapahit selanjutnya adalah anggota dinasti Rajasa yang bertahan hingga keruntuhan kerajaan tersebut di awal abad ke-16 M.
.
BAB. IV
Pada bagian terdahulu telah diuraikan adanya sejumlah prasasti batu yang aksaranya sudah tidak terbaca lagi, aus, bahkan beberapa telah halus permukaan batunya sehingga dianggap sebagai batu calon prasasti belaka. Hal yang sangat mengejutkan adalah tempat-tempat temuan prasasti batu yang aksaranya aus tersebut adalah wilayah yang diperkirakan pernah menjadi area konflik zaman Airlangga. Sebagaimana telah dibincangkan oleh para ahli bahwa wilayah Lamongan, area pegunungan selatan Lamongan dan Jombang bagian utara diperkirakan adalah wilayah pengembaraan, jelajah, dan tempat-tempat pertempuran Airlangga ketika harus menundukkan sejumlah kerajaan yang belum mengakui kekuasaannya (Sumadio 1984, Susanti, 2010), di tempat itu pula ditemukan banyak prasasti yang aus. Prasasti-prasasti batu Airlangga yang ditemukan relatif utuh justru ditemukan di luar wilayah Lamongan selatan dan Jombang, sedangkan di kedua wilayah tersebut banyak prasasti yang bercirikan batu prasasti Airlangga tetapi aksaranya hilang. Di area itu pula diperkirakan wilayah kerajaan Janggala setelah Airlangga membagi kerajaannya. Janggala pernah tampil dalam sejarah dengan 3 orang rajanya saja (Garasakan, Samarotsaha, dan Alanjung Ahyes). Hal yang menarik adalah uraian prasasti raja-rajanya selalu berkenaan dengan perang dan konflik melawan musuh-musuhnya. Telah pula dijelaskan dalam telaah ini bahwa sejumlah prasasti raja Kadiri juga menguraikan adanya peperangan yang menajdi alasan turunnya anugerah raja kepada penduduk desa yang telah membantu raja dalam peperangan. Harus dijelaskan pula bahwa akhirnya Singhasari berdiri sebagai kerajaan baru setelah tentara Tumapel yang dipimpin oleh Ken Angrok berhasil menang meyakinkan mengalahkan Kadiri yang pada waktu itu diperintah oleh Krtajaya atau Dangdang Gendis. Setelah memperhatikan bermacam sumber yang menyatakan peperangan demi peperangan dalam masa Jawa Kuno, maka peristiwa peperangan sejenis dan dampaknya tentu terjadi pula di tempat lain di dunia. Biasanya dampak dari peperangan yang kerapkali terjadi secara umum dalam sejarah kebudayaan dunia adalah sebagai berikut: 1.Apabila ada dua pihak yang berselisih dan berperang, maka wilayah negara atau kerajaan yang dikalahkan lalu disatukan menjadi wilayah kerajaan pemenang.pihak yang menang 2.Pihak pemenang akan menghancurkan semua simbol-simbol kekuasaan yang kalah (pembakaran bendera, pemusnahan panji-panji kebesaran, penghancuran simbol-simbol negara, penghancuran bangunan-bangunan simbol kekuasaan (istana), dan sebagainya). 3.Semua keputusan atau perintah dari raja(-raja) terdahulu dari pihak telah dikalahkan akan diabaikan, dianggap tidak berlaku lagi, dan harus dibuat ketetapan baru oleh penguasa baru dari pihak pemenang. 4.Tentunya di masa silam semua pembesar kerajaan yang kalah akan dihukum mati, dibuang, dipenjara, kecuali segera menyatakan sumpah setia kepada penguasa baru.
Agaknya postulat-postulat tersebut juga terjadi dan diterapkan dalam konflik dan peperangan antarkerajaan pada masa Jawa Kuno. Dengan demikian dapatlah dijelaskan bahwa prasasti-prasasti batu yang dikeluarkan oleh seorang raja akan menjadi salah satu sasaran penghancuran oleh raja pemenang jika saja terjadi peperangan. Sebab prasasti dapat dipandang sebagai: a.Tanda kebesaran seorang raja yang berkuasa b.Prasasti adalah perintah raja yang harus ditaati hingga akhir zaman (dlaha ning dlaha) c.Prasasti menjadi bukti kekuasaan dan kewibawaan raja d.Prasasti sebagai penanda wilayah yang dikuasai oleh seorang raja pembuat prasasti e.Prasasti merupakan dokumen struktur kuasa sebab mencantumkan nama jabatan dan pejabatnya. Dengan demikian dapatlah dipahami apabila banyak prasasti batu dari masa Jawa Kuno yang sekarang telah aus aksara, bahwa keausan tersebut sangat mungkin bukan karena perbuatan alam (lapuk karena panas dan hujan), melainkan sengaja diauskan, dipupus atau digerus aksaranya sehingga tidak bisa dibaca lagi. Siapakah yang melakukan pengggerusan aksara pada prasasti batu?, tentunya adalah pihak pemenang yang tidak suka lagi kepada keputusan-keputusan atau perintah raja atau dinasti raja yang dikalahkannya. Biasanya dalam prasasti-prasasti juga dicantumkan sejumlah kutukan (sapatha) bagi siapa yang berani melanggar perintah sang raja atau malah merusak batu prasasti tersebut. Untuk memunahkan kesaktian kutukan maka aksara pada seluruh permukaan prasasti harus lenyap semuanya, harus tandas dilincinkan. Jika demikian jadinya maka batu prasasti itu menjadi batu yang kosong tanpa aksara dan tidak salah kiranya apabila kemudian diduga sebagai batu calon prasasti.
Pemusnahan simbol kuasa raja tersebut agaknya tidak cukup hanya dengan pengikisan aksara pada batu prasasti, malah banyak prasasti yang kemudian dipecahkan menjadi dua bagian atau dipecahkan berkeping-keping menjadi beberapa bagian. Banyak fragmen prasasti batu yang ditemukan, menunjukkan bahwa batu prasastinya memang telah dipecahkan. Contoh yang terkenal adanya Prasasti Arca Camundi yang dikeluarkan oleh Raja Krtanagara. Mungkin karena begitu dahsyatnya kekuatan magis prasasti batu itu, maka perlu diremukkan berkeping-keping oleh pihak yang membenci Krtanagara, mungkin sekali atas perintah Jayakatwang yang menurut Mpu Prapanca dipandang sebagai mitra drohaka. Selanjutnya perhatikan pernyataan kitab Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuno (1984) ketika menjelaskan masa akhir Kerajaan Kadiri sebagai berikut: “Prasasti terakhir raja Srengga yang sampai kepada kita ialah Prasasti Lawadan tahun 1127 Śaka (18 Nopember 1205 M). Tetapi para sarjana berpendapat bahwa Srěngga atau Kŗtajaya inilah raja Daha terakhir yang telah dikalahkan oleh Ken Angrok pada tahun 1222. Kalau memang benar pendapat ini, maka selama 17 tahun raja ini tidak mengeluarkan prasasti, atau kalaupun ada juga prasasti-prasasti raja ini yang dikeluarkan antara tahun 1205 dan 1222 M, prasasti ini belum ditemukan. Dan kalau benar pendapat itu maka raja ini telah memerintah hampir 30 tahun lamanya, berbeda dengan raja-raja sebelumnya, kecuali raja Bāmeśwara, yang rata-rata memerintah hanya 10 tahun saja. Tetapi memang kenyataan bahwa selama 17 tahun tidak ada prasasti dari raja Srengga ini patut dipertanyakan” (Sumadio 1984: 273). Pertanyaan di akhir kutipan tersebut mungkin sudah dapat dijawab, bahwa memang selama 17 tahun seakan-akan tidak ada prasasti yang dikeluarkan oleh raja Srengga, sebenarnya mungkin tidak demikian. Prasasti-prasasti Raja Srěngga sejatinya telah dirusak atau dihancurkan oleh pihak pemenang, dalam hal ini orang-orang Tumapel-Singhasari. Sang Dangdang Gendis adalah raja yang kalah, maka semua prasastinya yang isinya “berbahaya” dan tidak sejalan dengan kebijakan raja/kerajaan pemenang tentu harus dimusnahkan, agar perintah raja yang kalah itu tidak perlu ditaati lagi.
Sebagaimana yang telah umum diketahui bahwa dari masa Kadiri langka ditemukan bangunan suci atau candi-candi, dan pada kenyataannya dari masa Kadiri banyak dihasilkan karya susastra yang bermutu, misalnya Hariwangsa, Bharatayuddha, Gatotkacasraya, dan Smaradahana, Kelangkaan bangunan suci dari era Kadiri tersebut bukan berarti masyarakat dan raja-raja Kadiri tidak pernah membangun candi, melainkan bangunan suci masa Kadiri itu dihancurkan secara sengaja oleh masyarakat zaman Singhasari. Candi-candi Kadiri dapat dipandang sebagai simbol kemegahan kerajaan yang telah dikalahkan, oleh karena itu harus dihancurkan pula. Orang-orang Singhasari kemudian mendirikan bangunan candi-candi baru sesuai dengan petunjuk raja-rajanya sebagai bangunan pendharmaan untuk memuja raja Singhasari yang telah mangkat dan diperdewa. Maka candi-candi dari era Kerajaan Kadiri pun langka ditemukan orang hingga sekarang, kalaupun ada bangunan candi itu sudah tidak lengkap lagi karena sangat mungkin sengaja diruntuhkan agar kebesaran Kadiri tidak lagi diingat oleh orang dari masa kemudian. Kemungkinan itu tentunya ada, dengan bercermin kepada sejarah Bali zaman pertengahan, pada masa antara abad ke-16—19 di Bali banyak berdiri kerajaan, antara lain Gelgel, yang hancur kemudian menjelma menjadi Klungkung, Badung, Karangasem, Buleleng, Mengwi, Gianyar, Bangli, Tabanan, dan Jembrana. Menurut berbagai sumber babad sejarah Bali telah terjadi banyak peperangan antarkerajaan tersebut (Rai Mirsha 1986: 153). Misalnya peperangan yang menyebabkan hancurnya Kerajaan Gelgel (Rai Putra 1991, 1995), perang yang terjadi antara kerajaan Tabanan dan Mengwi (Gde Darta dkk. 1996), perang antara Gianyar melawan Bangli, Klungkung, Badung dan Mengwi (Mahaudiana 1968), Mengwi yang diperangi ramai-ramai oleh kerajaan-kerajaan lainnya hingga runtuh (Nordholt, 1996), dan lainnya lagi. Akibat dari peperangan tersebut banyak pura yang dihancurkan pada waktu peperangan berlangsung. Banyak arca dewa-dewi Hindu yang juga pecah-pecah terpengal atau rusak, hal itu terjadi bukan karena lapuk akibat kegiatan alam, melainkan arca-arca tersebut memang sengaja dibacok atau dipenggal dengan senjata tajam, jejak-jejak pengrusakan tersebut masih nyata terlihat pada beberapa arca yang disimpan dalam pura-pura tertentu. Demikianlah bahwa pengrusakan terhadap simbol-simbol kerajaan yang kalah oleh pihak kerajaan pemenang sudah menjadi suatu keniscayaan, dan itu memang layak dilakukan untuk menunjukkan keunggulan pihak pemenang. Hal itu pula yang kiranya terjadi dalam masa Jawa kuno, ketika pusat-pusat kerajaan telah berkembang di wilayah Jawa Timur. Ketika peperangan kerapkali terjadi, maka terjadi pula penghapusan pada simbol-simbol dan pembentukan simbol-simbol baru. Dalam pertalian dengan berbagai peperangan yang terjadi itulah, maka banyak prasasti batu dari pihak raja yang kalah akan dipupus secara sengaja oleh pihak kerajaan pemenang.
.
BAB. V
Memang benar tidak semua prasasti batu dari kerajaan yang kalah dihapus pahatan aksaranya oleh raja pemenang, buktinya berita tentang zaman Airlangga, era Kerajaan Janggala, dan Kadiri masih ada yang tidak dihancurkan walaupun upaya untuk mengapus aksaranya pernah dilakukan. Prasasti-prasasti batu dari masa Kadiri umumnya telah rusak permukaannya, sehingga sukar untuk dibaca lagi, banyak kata yang tidak mampu diidentifikasikan lagi, karena upaya penghapusan atau pengrusakan pada permukaan batu prasasti. Memang dijumpai adanya beberapa prasasti batu yang meninggalkan jejak guratan kasar pada permukaannya, agaknya bentuk upaya untuk menghapus aksara pada prasasti tersebut. Dalam pada itu terdapat pula prasasti-prasasti batu yang ditemukan masih dapat dibaca dengan baik, walaupun dari masa yang sangat jauh di belakang era peperangan antarkerajaan. Misalnya beberapa prasasti dari raja Pu Sindok (abad ke-10) yang masih bertahan hingga sekarang. Agaknya seorang raja yang dipandang berkharisma, prasasti-prasastinya akan tetap ditaati sampai waktu yang lama. Demikianlah dapat kiranya diambil beberapa catatan tentang pengrusakan secara sengaja terhadap prasasti-prasasti batu: 1.Perusakan dilakukan oleh masyarakat masa lalu dari periode Hindu-Buddha sendiri atau dari periode yang lebih kemudian di zaman perkembangan Islam. Untuk hal terakhir ini tentunya memerlukan kajian tersendiri. 2.Agaknya pemupusan aksara tidak dilakukan oleh masyarakat kerajaan pembuat prasasti batu, sebab penegakkan batu prasasti harus melalui upacara sakral dan dianggap disaksikan oleh para dewa. Perintah raja yang dipahatkan dalam bentuk aksara tersebut setara dengan perintah dewa, sebab raja adalah penjelmaan dewa ke dunia.
3.Dirusak atas perintah penguasa/raja pemenang, yang tidak suka atas isi perintah dalam prasasti raja yang dikalahkan, isi dipandang tidak sesuai dengan keadaan zaman yang kemudian, prasasti dirusak agar keputusan-keputusan raja terdahulu tidak lagi harus dipatuhi oleh masyarakat yang kemudian.
Pada akhirnya dapat dinyatakan bahwa kepentingan politik dari kerajaan-kerajaan masa Hindu-Buddha lebih nyata tampil, ketimbang kepentingan-kepentingan keagamaan. Walaupun kedua kerajaan yang berselisih sama-sama mengembangkan dan bercorak agama Hindu-Buddha, namun isi prasastinya berbeda. Padahal pembuatan prasasti itu disaksikan oleh para dewa yang sama dan juga menyatakan kutukan yang sama, pengrusakan tetap dilakukan. Dalam hal pengrusakan bangunan suci keagamaan agaknya dapat mengacu kepada sejarah Bali zaman Madya, walaupun mereka membangun pura yang sama, arca-arca dewa yang sama, dan prinsip keagamaan yang sama, yaitu Hindu; tetap saja pengrusakan dilakukan oleh pihak yang menang, karena semua bangunan suci itu dipandang sebagai simbol dari kerajaan yang dikalahkan.

DAFTAR PUSTAKA
Atja, 1968. Tjarita Parahijangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka-16 Masehi. Bandung: Jajasan Kebudajaan Nusalarang.
Boechari, 1968. “Sri Maharaja Mapanji Garasakan: A New Evidence on the Problem of Airlangga’s Partition of His Kingdom”, Madjalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia. V (1): 119—125.
Coedes, George, 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Winarsih Partaningrat Arifin. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, dll.
Gde Darta, A.A; A.A.Gde Geriya dan A.A.Gde Alit Geria, 1996. Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan Terjemahan ke Dalam Bahasa Indonesia. Denpasar: Upada Sastra.
Hardjowardojo, R.Pitono. 1965. Pararaton. Djakarta: Bhratara.
De Casparis, J.G.de, 1956. Selected Inscription from 7th to the 9th Century AD: Prasasti Indonesia II. Bandung: Masa Baru.
----------------------, 1995—1996.“Beberapa tokoh Besar Dalam Sejarah Asia Tenggara dari Kira-kira 1000—1400 M”, dalam Amerta: Berkala Arkeologi No.16. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Halaman 38—46.
Krom, N.J., 1954. Zaman Hindu. Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Arif Effendi. Djakarta: PT.Pembangunan.
Mahaudiana, 1968. Babad Manggis Gianjar. Gianjar: A.A.Gde Thaman.
Nordholt, H.Schulte, 1996. The Spell of Power: A History of Balinese Politics 1650—1940. Leiden: KITLV Press.
Rai Mirsha, I Gusti Ngurah (Ketua Tim), 1986. Sejarah Bali. Proyek Penyusunan Sejarah Bali, Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
Suhadi, Machi & Richadiana K., 1996. Laporan Penelitian Epigrafi di Wilayah Provinsi Jawa Timur. Berita Penelitian Arkeologi. No.47. Jakarta: Pusat Penelitian arkeologi Nasional.
Sumadio, Bambang (Editor Jilid), 1984. Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.
Susanti, Ninie, 2010. Airlangga, Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI. Jakarta: Komunitas Bambu.
Rai Putra, I.B., 1991. Babad Arya Kutawaringin. Denpasar: Upada Sastra.
----------------, 1995. Babad Dalem. Denpasar: Upada Sastra

No comments:

Post a Comment