Halaman

4/30/2014

Makalah Pengantar Studi Islam "AGAMA DAN KEKERASAN SOSIAL"

AGAMA DAN KEKERASAN SOSIAL




Makalah ini disusun untuk tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam
Program Studi Pendidikan Agama Islam, Semester I  Madin
Sekolah Tinggi Agama Islam NU Pacitan

Dosen Pengampu
M. Hanifudin, S.Pd, M.SI


Disusun Oleh :
 Budi Santoso      20130101673


SEKOLAH TINGGI ILMU AGAMA ISLAM NU PACITAN
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Jl. Letjend S. Parman No. 44b Pacitan
Phone: 0357 885635 E-mail : stitnupa_106@yahoo.co.id

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sifat kebhinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia ternyata juga menyimpan potensi maupun factor disharmoni. Pandangan umum yang telah lama dipopulerkan adalah bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah-tamah, serta akomodatif terhadap berbagai nilai budaya asing dan berintegrasi di tengah-tengah masyarakat. Jika dikaji lebih mendalam, tentu dapat dikatakan bahwa potensi konflik dan budaya kekerasan yang muncul terlihat relative sama kuatnya dengan budaya keramah-tamahan bangsa ini. Di sisi lain, fenomena tersebut tentunya bisa juga dikatakan berbanding terbalik dengan sikap religius yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Asumsi yang berlaku mestinya, sikap religius dapat mencegah timbulnya konflik yang semestinya tidak perlu. Atau jika konflik berkembang pada skala kecil tentunya religiusitas ini bisa menjadi penyejuk dan unsur pendamai pertikaian antar kelompok tersebut. Namun yang terjadi di lapangan tidaklah demikian. Banyak konflik yang terjadi justru dibangun dengan mengatasnamakan agama.

B.     Rumusan Masalah
1.      Agama apa fungsi dan pengertiannya
2.      Bagaimana dasar dan landasan Pluralisme
3.      Konflik social apa saja pemicunya
4.      Bagaimana agama menjadi dan solusi dalam menangani konflik sosial


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Agama Fungsi dan Pengertiannya
1.      Fungsi agama
Pada dasarnya agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, kerena bagaimanapun juga manusia membutuhkan kontrol diri dan pengawasan agama. Hadirnya agama sangat berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris dengan adanya keterbatasan kemampuan dan ketidak pastian dari manusia. Sesuai fungsinya, mengambil penjelasan Hendro Puspito, bahwa fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan, dan transformative. Oleh karena itu, jika fungsi agama berjalan dengan baik, masyarakat dapat merasa aman, stabil, sejahtera dan sebagainya.
Namun, karena agama yang dianut oleh manusia didunia ini tidak hanya satu, maka tentu saja klaim kebenaran masing-masing agama yang dianut oleh setiap orang akan muncul ke permukaan. Jika klaim itu dihadapkan pada penganut agama lain, maka sudah dapat diduga akan terjadi benturan anatar penganut agama, yang masing-masing memiliki klaim kebenaran.
Maka , makalah yang ada saat ini mencoba untuk mengungkap bagaimana seseorang mengeksperesikan keberagamaannya di hadapan penganut agama lain dengan tanpa ada benturan, atau paling tidak dapat meminimalisir terjadinya konflik antar umat beragama.
2.      Pengertian Agama
Menurut Hendrapuspito, agama adalah suatu jenis sistem social yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagai mereka dan masyarakat luas umumnya.
Definisi lain disebutkan dalam kamus sosiologi, bahwa agama dapat diartikan keadaan tiga macan definisi, di antaranya:
a.       Kepercayaan pada hal-hal yang spiritual.
b.      Perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri.
c.       Idiologi mengenahi hal-hal yang bersifat supranatural.
Sementara itu, Thomas F. O`die mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana supra-empiris untuk maksud-maksud non-empiris atau supra-empiris. Dari definisi diatas, dapat tergambar jelas bahwa agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada diluar jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang supra-natural sehingga diharapkan dapat mengatasi-masalah yang non-empiris.
B.     Agama dan Keragaman Sosial
Dalam konteks hidup bermasyarakat, keragaman sosial atau yang sering disebut dengan pluralisme, seringkali menjadi persoalan sosial yang dapat mengganggu integritas masyarakat. Beberapa pandangan menunjukkan, pluralisme atau keberagaman dipahami sebagai salah-satu faktor yang menimbulkan konflik-konflik sosial, baik bertolak demi satu kepentingan (vested-interst) keagamaan yang sempit, maupun bertolak dari supremasi budaya kelompok masyarakat tertentu. Pandangan demikian ada benarnya, karena di banyak negara terjadi kasus kekerasan masa yang dilatarbelakangi oleh persoalan-persoalan pluralisme ini. Al-Qur’an sendiri menyatakan secara eksplisit, bahwa sengaja manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar merka saling mengenal dan menghargai. Al-Qur’an juga menyatakan bahwa perbedaan warna kulit dan bangsa harus diterima sebagai kenyataaan yang positif, yang merupakan salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Dalam ayat lain ditegaskan, tentang kemajemukan pandangan dan cara hidup diantara manusia yang tidak perlu menimbulkan kegusaran, akan tetapi hendaknya dipahami. Sebagai pangkal tolak dorongan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, karena tuhan sendirilah yang akan menerangkan sebab-sebab manusia berbeda nanti ketika kita kembali kepada Nya. Sikap toleransi (tasamuh) ini dalam sejarah dakwah Nabi pernah dicontohkan dengan jelas,  ketika berhadapan dengan kelompok lain di Madinah. Menghadapi pluralistik masyarakat Madinah ini Nabi berusaha mencari titik temu berbagai golongan dengan terlebih dahulu mengakui eksistensi mereka. Keterangan demikian dapat dikaji dalam dokumen yang populer disebut “Konstitusi Madinah

C.    Konflik Sosial
Dalam wacana, teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan diantara kelompok dan kelas serta kecenderungan kearah perselisihan, ketegangan, dan perubahan. Yang harus digaris bawahi adalah “ masyarakat “. Karena, masyarakat menjadi lahan untuk menumbuhkan dan memyuburkan konflik. Diantara faktor yang mempengaruhi kearah seperti itu bisa bermacam-macam, diantaranya, faktor ekonomi, politik, social, bahkan agama.
Apabila merujuk pada al-quran, banyak indikasi yang menjelaskan adanya faktor konflik yang ada di masyarakat. Secara tegas al-quran menyebutkan:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).(Ar-Rum: 41).
Ayat ini bisa dijadikan argumentasi bahwa penyebar konflik sesungguhnya adalah manusia. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan melihat dari segi penganut agamanya, bukan agamanya.
Penganut agama adalah orang yang meyakini dan meyakini suatu ajaran agama. Keyakinannya itu akan melahirkan bentuk perbuatan baik maupun buruk, yang dalam terminologi islam disebut “amal perbuatan”. Dari mana mereka meyakini bahwa suatu perbuatan itu baik dan buruk. Keyakinan ini dimiliki dari rangkaian proses memahami dan mempelajari ajaran agama itu. Oleh karena itu, setiap penganut akan berbeda dan memiliki kadar intepretasi yang beragam dalam memahami ajaran agamanya, sesuai dengan kemampuanya msing-masing.
Akibat perbedaan pemahaman itu saja, cikal bakal konflik tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian, pada sisi ini agama memiliki potensi yang dapkat melahitkan berbagai bentuk konflik (intoleransi). Paling tidak, konflik seperti ini adalah konflok intra- agama atau disebut juga konflilk antar madzhab, yang diakibatkan oleh perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama.
Disfungsi agama, kekaburan hubungan antara agama dengan masyarakat, dan peranan agama dalam melahirkan serta memperbesar terjadinya konflilk social secara keseluruhan dipersulit oleh kenyataan bahwa kelembagaan agama itu sendiri menghasilkan seperangkat dilema yang secara structural inheren, dan itupun dapat dianggap sebagai ciri khas perkembangan organisasi keagamaan. Konflik sosial bisa dikatakan telah setua peradaban manusia itu sendiri. Setiap benturan antar kepentingan terjadi, disitulah muncul peluang konflik sosial. Konflik dalam masyarakat di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu konflik vertical dan horizontal. Kedua tipe ini bisa berjalan sendiri-sendiri , namun terkadang juga bisa saling terkait. Konflik vertical dan horizontal dapat terjadi atas dua alasan:
1.      Ketidakmampuan Negara mengelola berbagai kepentingan masyarakat Indonesia yang majemuk.
2.      Keterlibatan Negara (pemerintah) bersikap berat sebelah dalam rangka memaknai konstalasi kepentingan mereka ketika berlawanan dengan kepentingan publik.
Sedangkan untuk penanganan penyelesaian kekerasan sebagai buah konflik dalam dua aspek sekaligus yaitu:
1.      Penghentian kekerasan harus dilihat secara serentak dalam struktur masyarakat, seperti adanya ketidakadilan dan penyimpangan kekuasaan. Semakin tidak adil struktur masyarakat dan semakin kuat tingkat represi kekuasaan akan makin tinggi pula skala dan frekuensi kekerasan dan konflik. Pemicu kekerasan dan konflik dapat berangkat dari berbagai aspek seperti; ekonomi, politik, tanah, pemilu, perbedaan paham dan sebagainya.
2.      Metode penanganan kekerasan. Apakah penyelesaian kekerasan boleh dilakukan dengan kekerasan pula? Secara tegas tentu jawabannya adalah “tidak”. Setiap tindak kekerasan sudah pasti tidak akan melahirkan kedamaian, namun justru  akan memperluas dan memperbesar skala konflik.
Kesantunan budaya muslim Indonesia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari ajaran Al Qur’an yang memerintahkan setiap orang beriman untuk menghargai satu sama lain atas dasar kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Q.S. Ali Imran, 3: 64). Toleransi dan pemahaman Muslim di Indonesia tentunya juga diilhami oleh ayat “ Untukmu Agamamu dan untukku agamaku” (Q.S. Al Kafirun, 109: 6). Al Qur’an juga menyebutkan bahwa di dalam masyarakat yang beragam, semua agama dapat hidup damai secara berdampingan, dengan sikap saling menerima dan kreatif melebihi toleransi semata. Yang tak kalah menariknya adalah, bahwa sikap eksklusivisme agama tidak sesuai dengan jiwa dan pandangan Islam.

D.    Agama, Politik dan Kekerasan Sosial
Dalam sejarah agama-agama, kekuatan agama di satu sisi dan kekuatan agama di sisi lain seringkali terjadi ketegangan dan saling berhadapan. Misi agama Ibrahim menghancurkan bangunan politik Raja Namrud yang establish. Dakwah Nabi Musa meneggelamkan Fir’aun (Ramses II) beserta pengikutnya ke dasar laut merah. Demikian juga kebangkitan Nabi Muhammad sebagai penutup nabi mengakhiri hegemoni politik kaum Quraisy. Bahkan pada akhirnya mampu menjadi negara “adikuasa” menggantikan dua super power di barat Imperium Romawi dan super power di Timur kerajaan Persia Raya. Terjadinya kontradiksi antara dua kekuatan agama dan politik bisa jadi karena perbedaan misi dari keduanya. Agama membawa misi moral dan politik bertujuan mencari kekuasaan. Agama memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan yang universal, sedangkan politik boleh jadi mempolarisasi manusia berdasarkan kepentingan individu dan kelompok
Fenomena ketegangan antar agama dan politik ini telah menjadi kenyataan di Eropa pada abad pertengahan, ketika gereja dianggap menjadi penghalang proses moderenisasi. Atas dasar ini cendekiawan barat umumnya begitu yakin bahwa persoalan politik dan moderenisasi harus dipisahkan dengan persoalan agama, yang kemudian populer dengan istilah sekularisasi. Sejarah mencatat terjadinya Perang Salib yang berlangsung selama berabad-abad antar Islam-Kristen. Perang saudar Hindu-Muslim di India, Perang Arab-Israel di Timur, perang Muslim-Kristen di Bosnia Herzegovina, dan belakangan pecah di Ambon (antar Islam-Kristen). Perang agama telah menghancurkan peradaban yang sangat dahsyat. Sulit dibedakan apakah satu peperangan atau konflik sosial muncul karena faktor agama atau faktor politik. Boleh jadi kepentingan ekonomi atau separatisme menunggangi agama. Misalnya, perang Iran-Iraq yang berlangsung selama 8 tahun, sebenarnya bukan perang Islam Sunni di Iraq dengan Islam Syi’i di Iran, melainkan kepentingan pihak ketiga yaitu Amerika. Demikian juga perang Arab-Israel, perang Vietnam dan sebagainya. Uraian di atas memberikan pengertian bahwa apabila kemauan politik (political will)  bertentangan dengan ide moral agama, maka ketegangan/konflik sosial akan terjadi. Idealnya misi agama dan politik dalam suatu masyarakat bangsa harus bisa berjalan selaras, saling mengisi dan bukan saling menunggangi. Kolonialisme di Indonesia, misalnya, mendapatkan perlawanan yang keras dari umat Islam, karena tidak saja menjajah secara fisik, material dan politis, tetapi juga menjajah ideologi Islam dan bahkan membawa Ideologi baru (Kristen) yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang berkembang. Gencarnya perlawanan kaum Muslimin terhadap Belanda yang dicap sebagai “bangsa kafir” mendorong Belanda untuk mengubah strategi pendekatan untuk memperoleh simpati dan dukungan dari umat Islam. Tiga strategi yang diterapkan yang sekarang ini dirasakan pengaruhnya adalah;
1.      Memisahkan urusan agama dengan politik, yang disebut sekularisasi;
2.      Memanfaatkan agama dan para tokohnya untuk mendukung dan sebagai justifikasi segala kebijakan yang ditempuh,
3.      Missionaris Kristen dilakukan secara samar dan persuasif.
Agama-agama memang mengajarkan kepada umatnya kerukunan dan kedamaian hidup. Tetapi dalam implementasinya, keberagaman muncul dalam bentuk fanatisme sempit, ditambah dengan upaya-upaya politisasi agama yang marak pada era Multi partai sekarang ini. Dalam prespektif integrasi nasional, di samping faktor fanatisme agama tersebut, maka ada beberapa faktor yang dapat memicu lahirnya konflik dan kekerasan yang harus diperhatikan. Faktor-faktor tersebut adalah:
1.      Adanya pertarungan amatir antar kekuatan untuk dapat masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Kekuatan-kekuatan tersebut dapat berbentuk Parpol, Ormas, dan LSM sertadapat bersifat perorangan, seperti para elite polotik, eliteorimordial yang dekat dengan kekuasaan, dan sebagainya. Pertarungan antar kekuatan inilah potensial terjadinya konflik massa.
2.      Media informasi yang bebas dan hampir-hampir out of control juga dapat medorong ke arah disintegrasi. Seringkali opini politik dibangun, didesain sedemikian rapi untuk sarana-sarana tertentu.
3.      Intervensi pihak asing baik langsung maupun terselubung. Secara langsung kita melihat betapa kuatnya pengaruh IMF dan desakan negara-negara maju terhadap Indonesia. Umumnya pihak asing mempunyai misi mengarahkan Indonesia menjadi negara yang tak berdaya dan selalu tergantung kepada pemberian-pemberian yang tidak imbang,
4.      Keresahan masyarakat lapis bawah yang merasa ditinggalkan oleh para elite politik yang dulu memberi janji-janji manis, setelah Pemilu usai mereka kecewa.
5.      Fenomena budaya yang kontradiktif sedang terjadi, antara budaya feodalistik otoritarian pengikut status quo, dengan budaya demokratis yang sedang berkembang. Sebagian masyarakat masih menggambarkan massa lalu lebih baik daripada masa kini, atau masa depan.
6.      Kemiskinan dan tekanan ekonomi yang kian sulit pada masyarakat kelas bawah. Kondisi seperti ini sangat dikhawatirkan menjadi pemicu terjadinya revolusi social atau kekerasan social

E.     Agama Sebagai Ajaran Kedamaian
Agama dan kekerasan tentu merupakan dua hal yang paradok. Semua agama tentu mengajarkan kepada umatnya tentang kerukunan, kedamaian, keadilan, toleransi (tasamuh) dalam keberagaman, saling menghormati dan menghargai sesama. Ajaran agama memberikan arah untuk mewujudkan pribadi yang paripurna (insan kamil), berpikir/berprasangka yang positif. Agama dan akal sehat akan menghindari sejauh mungkin konflik dan perpecahan dalam umat, terlebih disertai dengan tindak kekerasan. Ajaran Islam sangat menganjurkan semua pemeluknya untuk senantiasa hidup rukun, bersatu dan tidak terpecah belah, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an’ “Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai …”. Di dalam ayat lain dinyatakan pula bahwa manusia adalah umat yang satu (Ummatan wahidah), “Manusia itu adalah umat yang satu, maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.”   Kerukunan dan persaudaraan di dalam istilah Islam disebut dengan “ukhuwwah”, yang berarti persamaan dan keserasian dalam banyak hal. Ukhuwwah dalam arti asalnya, yaitu persamaan, sebagaimana yang ditunjukkan dalam beberapa ayat maupun hadits Nabi, maka ukhuwwah dapat diklasifikasikan dalam empat tingkatan, sebagai berikut:
1.      Ukhuwwah fi al-‘Ubudiyyah,
yaitu ukhuwwah yang dibangun atas dasar persamaan se-mahluk. Manusia, binatang, tumbuhan dan alam semesta adalah sama-sama sebagai ciptaan Allah, yang oleh karenanya harus dapat hidup berdampingan. Persaudaraan se-mahluk ini misalnya ditunjukkan dalam firman Allah:“ Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi, dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, kecuali umat seperti kamu juga.” (Q.S. al-An’am:38) Persamaan lain adalah, sebagai mahluk ciptaan Allah yang sama-sama tunduk dan sujud kepada Allah. Dalam Al-Qur’an disebutkan:  “ Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang melata, dan sebagian besar manusia.” (Q.S. al-Hajj: 18) Dari konsep ukhuwwah semahluk ini, manusia dituntut berbuat baik dan ramah kepada alam lingkungannya. Dalam ajaran Islam, seorang muslim tidak boleh menyiksa binatang; menyembelih harus dengan pisau yang tajam,
2.      Ukhuwwah fi al-Insaniyyah/Basyariyyah
yaitu persaudaraan yang dibangun atas dasar persamaan kemanusiaan. Manusia berasal dari keturunan yang sama, mempunyai bentuk fisik yang sama, diberikan potensi dasar yang sama, akal dan perasaan. Dari persamaan-persamaan inilah, sesama manusia harus hidup bersaudara  dan saling membantu dalam memenuhi berbagai kebutuhannya. Dan persaudaraan basyariyyah tidak membedakan batas-batas agama, warna kulit, budaya, partai politik, status sosial dan sebagainya. Jadi ukhuwwah jenis ini dibangun atas prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal (lihat Q.S. al-Hujarat: 13).
3.      Ukhuwwah fi al-Wathaniyyah wa al-Nasb,
yaitu persaudaraan yang dibangun atas dasar persaman-persamaan sebangsa (tanah air) dan seketurunan (suku). Ukhuwwah Wathaniyyah termanifestasikan dalam bentuk-bentuk; cinta tanah air, rasa memiliki dan mempertahankannya,yang sering disebut dengan istilah nasionalisme. Nasionalisme ini juga dibenarkan oleh Islam. Sabda Nabi”hubb al-wathan min al-iman” (Cinta tanah air adalah sebagian dari iman). Sedangkan persaudaraan seketurunan akan melahirkan “nepotisme”, yaitu perasaan ingin mendahulukan kerabat dari orang lain yang bukan kerabat. Nepotisme seperti ini sebenarnya tidak salah. Ajaran Islam justru selalu menekankan agar mendahulukan keluarga dekat, baru kemudian orang lain, baik dalam mendermakan harta maupun dalam mendakwahkan agama.[22] Nepotisme yang dilarang adalah bentuk-bentuk mendahulukan dan memproteksi keluarga dengan cara yang tidak adil, pilih kasih, dan merampas hak-hak orang lain yang bahkan keluarga. Ukhuwwah jenis ini cakupannya lebih sempit, namun ikatan atau fanatismenya lebih kuat.
4.      Ukhuwwah fi al-Din al-Islam (Islamiyyayh)
yaitu persaudaraan yang dibangun atas persamaan seagama Islam. Ungkapan “Sesama muslim adalah saudara” adalah prinsip Islam yang sangat jelas diterangkan dalam Al-Qur’an, maupun dalam hadist Nabi. Di antaranya Nabi Saw bersabda: “Janganlah kamu saling dengki dan saling bermusuhan, dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Janganlah kamu saling mengkhianati, saling membohongi, dan jangan pula meninggalkan (saudara sesama muslim) tanpa pertolongan.”
Dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Nabi Saw juga bersabda: “ Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kecintaan mereka, belas kasihan mereka, dan kelembutan mereka adalah bagaikan satu badan. Apabila salah satu dari anggota badan itu menderita, maka menjalarlah penderitaan itu ke seluruh badan, sehingga tidak bisa tidur dan terasa panas.”.
Menghadapi perbedaan golongan dan perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakat, baik yang bersifat internal (interen umat beragama) maupun eksternal (antar umat beragama) agar tidak berimplikasi negative, maka perlu ditegakkan beberapa prinsip dan etika sebagai berikut:
  1. Perbedaan adalah sunnat Allah. Dunia ini ada karena dibangun oleh pertautan berbagai unsur yang berbeda. Manusia diciptakan dalam dua jenis; laki-laki dan perempuan, dengan sifat baik dan buruk, ada yang kaya dan miskin, beriman dan kafir, surga dan neraka, dan sebagainya. Allah Swt berfirman:“ Untuk tiap-tiap umat diantara kamu (umat Muhammad dan sebelumnya), kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguju kamu terhadap pemberianNya, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”. (Q.S. al-Maidah: 48)  
  2. Dalam Islam, perbedaan pendapat dan lahirnya golongan-golongan sudah mulai muncul pada masa Khulafah ar-Rasyidin dan terus berkembang pada periode-periode berikutnya. Dalam bidang teologi, misalnya, lahir kelompok Syi’ah, Khawarij, Hanafi, Syafi’i, Hambali, Zhahiri, dan sebagainya. Perbedaan ini tidak bisa dielakkan, karena Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber ajaran Islam yang utama bersifat Interpretable, dan potensial dipahami secara berbeda.
  3. Menghilangkan perbedaan adalah hal yang mustahil, karena bertentangan dengan sunnat Allah. Yang penting adalah, menegakkan etika berbeda pendapat, yang meskipun berbeda-beda pandangan dan golongan, tetapi dapat hidup rukun dan aman. Ada beberapa etika yang harus dipegangi demi terwujudnya integritas social diantaranya :
a.       Tidak boleh merasa benar sendiri, karena kebenaran mutlak adalah milik Allah dan kebenaran penemuan manusia bersifat relatif.
b.      Perlu ditegakkan sikap-sikap toleransi (tasamuh), sikap “tepo-seliro” saling menghormati, tidak mengejek dan menghina pihak lain yang berbeda (Q.S. al-Hujurat: 11).
c.       Dikembangkan sikap berbaik sangka (husnul al-dzan), bersikap positif, yaitu menilai pihak lain yang berbeda secara proporsional dari sisi kekurangan dan kelebihannya,
d.      Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain dengan kekuasaan. Dakwah harus dilakukan secara terbuka dan demokratis. Inilah beberapa prinsip etika bermasyarakat menurut ajaran Islam, yang untuk saat sekarang ini semakin relevan untuk dikembangkan dalam kehidupan masyarakat yang beragam seperti Indonesia ini.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sesuai fungsinya, mengambil penjelasan Hendro Puspito, bahwa fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan, dan transformative. Oleh karena itu, jika fungsi agama berjalan dengan baik, masyarakat dapat merasa aman, stabil, sejahtera dan sebagainya. Pengertian Agama  Menurut Hendrapuspito, agama adalah suatu jenis sistem social yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagai mereka dan masyarakat luas umumnya.
Konflik vertical dan horizontal dapat terjadi atas dua alasan:
1.      Ketidakmampuan Negara mengelola berbagai kepentingan masyarakat Indonesia yang majemuk.
2.      Keterlibatan Negara (pemerintah) bersikap berat sebelah dalam rangka memaknai konstalasi kepentingan mereka ketika berlawanan dengan kepentingan publik.

B.     Kepustakaan
 Ahmad Suaedi (ed.), Kekerasan dalam Perspektif Pesantren (Jakarta: Grasindo, 2000).
Alwi Shihab, Dr., Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999).
Donald K. Emmerson, Indonesia’s Elite: Political Cultureand Culture Politic, (Ithaca: Cornell University Press, 1976).
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, cet IX, 1995).
Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Letera Antarnusa, 1990).
Nasikun, Dr., Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1993).
Nurcholis Majid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992).


No comments:

Post a Comment